Mohon tunggu...
Henki Kwee
Henki Kwee Mohon Tunggu... -

Belajar memahami apa yang terjadi di sekitar dan menulis untuk berbagi pendapat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ironi staff ahli DPR

4 September 2010   03:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:28 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_248892" align="alignleft" width="80" caption="sumber: tribunews.com"][/caption] Pembangungan gedung baru DPR yang menambah kehebohan di negri yang sudah heboh ini. Setiap anggota dewan yang terhormat akan mendapat ruang kerja seluas 120 meter persegi untuk dirinya dan 5 orang staff ahli dan 1 asisten pribadi. Tentu kita bertanya-tanya, apakah seorang anggota dewan membutuhkan demikian banyak staff ahli? apakah tidak bisa dilakukan dengan cara yang lebih efisien? Alasan yang dikemukan terkait staff ahli adalah perlunya DPR mengimbangi pemerintah dalam membuat keputusan yang lebih berkualitas. Sebuah argumen yang sangat masuk akal jika DPR melihat pemerintah sebagai "lawan" yang harus dihadapi. Apakah memang demikian seharusnya? Meski tidak tahu persis suasana kerja di DPR, tetapi terkait dengan pemanfaatan staff ahli mungkin ada baiknya dilakukan peninjauan kembali dengan pertimbangan berikut: Beban dan cara kerja staff ahli Apakah staff ahli yang ada sekarang beban kerjanya sudah sangat berlebihan sehingga diperlukan penambahan? Kalau terjadi kelebihan apakah kelebihan itu terkait denga keahlian atau hanyalah pekerjaan administratif. Jika hanya pekerjaan administratif tentu yang harus ditambah adalah tenaga administrasi bukan staffa ahli. Hal ini perlu dibedakan karena biaya seorang staff ahli tentu berbeda banyak dengan seorang tenaga administrasi. Sepengetahuan saya, staff ahli adalah orang yang dimanfaatkan keahliannya untuk memberikan nasihat berdasarkan keahliannya. Dalam kaitan dengan DPR, staff ahli adalah seorang pemikir/pemilik keahlian khusus yang memberikan pendapatnya tentang suatu masalah kepada anggota dewan dalam membuat keputusan. Dengan dukungan data yang baik maka staff ahli akan lebih cepat dan tepat dalam bekerja. Beranjak dari sini, timbul pertanyaan, bukankah kita lebih membutuhkan pusat data dibandingkan staff ahli. Pemanfaatan staff ahli secara maksimal Kaget juga mendengar alasan bahwa kebutuhan menambah staff ahli di DPR adalah untuk mengimbangi pemerintah. Jika melihat kondisi sekarang memang argumen ini tidak berlebihan tetapi dalam wacana yang ideal, apakah DPR itu lawan pemerintah? sehingga DPR perlu mempersiapkan 'amunisi" yang sama dengan yang dimiliki pemerintah agar memiliki kekuatan yang seimbang. Bukankah seharusnya DPR harus memposisikan diri sebagai kolega dalam menjalankan pemerintahan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan paradigma seperti ini maka staff ahli yang dimiliki pemerintah juga dapat dimanfaatkan oleh DPR. Tentu saja, supaya menjadi netral maka staff ahli yang ada hendaknya ditampung dalam suatu lembaga pemikir (think tank) yang independen. Bukankah pada hakekatnya pengetahuan/keahlian yang dimiliki itu bersifat universal yang berarti bisa dipakai pihak mana saja untuk mencapai tujuan bersama sehingga pendapat seorang ahli yang memiliki integritas harusnya dipercaya. Bukti tidak netralnya staff ahli Indonesia? Alasan yang disampaikan untuk penambahan staff ahli membuka wacana baru tentang adanya dikotomi staff ahli pemerintah dan staff ahli DPR. Bisa saja dalam hal ini staff ahli menjadi obyek tanpa mereka sendiri terlibat dalam pembentukan dikotomi itu. Tetapi, sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan, apakah tidak mungkin pemerintah dan DPR duduk bersama untuk menciptakan lembaga 'think tank" yang dapat dimanfaatkan bersama. "Paralysis of analysis" Dengan memanfaatkan pendapat/masukan dari lembaga yang sama maka perdebatan antara pemerintah dan DPR akan menjadi lebih fokus pada solusi, tidak lagi mempertanyakan keabsahan dan latar belakang data yang digunakan seperti yang sering terjadi selama ini. Istilah "paralysis of analysis" sering digunakan untuk menjelaskan perdebatan yang berkutat pada hasil analisa. Semua pihak hanya sibuk memojokkan pihak lain atas hasil analisa yang disajikan. Situasi ini membuat energi terbuang percuma, bukankah lebih baik energi yang ada digunakan untuk berdebat tentang solusi terbaik atas masalah yang sedang dihadapi? Nah, kalau sudah sepakat untuk menggunakan tenaga ahli secara bersama maka jumlah tenaga ahli akan berkurang, demikian juga dengan luas ruang kerja dan biaya pembangunan gedung baru. Tetapi, ini hanya pendapat seseorang yang naif, yang tidak mengerti dunia politik. Ada yang bilang "jika tidak mencari kemenangan jangan masuk dunia politik" dan "politik itu memihak". Entahlah, yang saya tahu cuma katanya "politik itu adalah cara yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat" Bisakah kesejahteraan dicapai dalam situasi tidak damai? Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun