[caption id="attachment_169192" align="alignleft" width="124" caption="sumber: sundagasik.com"][/caption] Ada artikel menarik di salah satu portal berita online yang mengangkat cerita tentang suatu hotel bintang lima di Jakarta yang harus menyiapkan gayung dan ember untuk keperluan rombongan tamu dalam jumlah besar yang sedang mengadakan perhelatan di hotel tersebut. Gayung dan ember adalah perlengkapan mandi yang wajib tersedia bagi sebagian besar dari orang Indonesia. Tanpa gayung mandi terasa kurang enak sedangkan ember mungkin sebagian sudah digantikan dengan bak mandi. Meski sekarang banyak rumah sudah memasang pancuran air (shower) tetap saja penggunaan kedua benda tersebut sulit digantikan. Rasa nyaman yang timbul ketika mengguyur air ke badan dengan gayung beda sekali rasanya dengan air yang disemprotkan dari shower. Kebiasaan yang telah terbentuk sejak kecil ini sulit diganti meski sekarang kita sadari bahwa menggunakan gayung lebih boros air dibandingkan dengan shower. Tapi demi kenikmatan pemborosan air tampaknya tidak terlalu dipikirkan. Apalagi di sebagian besar wilayah Indonesia air ledeng masih merupakan impian karena buruknya penyaluran dan kualitas air. Sampai-sampai ada yang menyindir PDAM yang seharusnya Perusahaan Daerah Air Minum menjadi Perusahaan Daerah Air untuk Mandi. Bahkan kadang-kadang untuk mandipun tak layak. Ehh, kok jadi ngelantur ke PDAM. Kembali ke gayus eh gayung, benda yang umumnya terbuat dari plastik ini tampaknya sudah merupakan benda budaya. Mandi atau membersihkan diri dengan gayung sudah menjadi budaya kita. Pernah saya menanyakan pada petugas kebersihan hotel (room boy) tentang perilaku mandi orang kita di hotel berbintang. Mereka sering mendapatkan lantai kamar mandi yang banjir karena penggunaan shower atau penyemprot untuk membersihkan diri sesudah buang air yang tidak sesuai. Tamu pun pasti tidak bermaksud membuat banjir kamar mandi sehingga menyusahkan petugas. Hal yang sama juga terjadi dengan penggunaan kloset duduk dan jongkok. Buat sebagian orang kloset duduk tetap dijadikan kloset jongkok. Makanya kita sering membaca peringatan yang ditempel di toilet umum yang menyarankan penggunaan toilet duduk secara benar. Himbauan tidak bisa merubah kebiasaan. Solusinya pengelola gedung menyediakan kedua jenis toilet tersebut. Memang susah mengubah kebiasaan. Tapi dalam hal ini, keduanya tidak ada yang salah. Pernah dalam suatu kesempatan menghadiri konferensi di Eropa bertemu dengan seorang profesor dari negeri jiran di dalam bis yang mengantarkan kami ke hotel. Ternyata beliau membawa gayung di dalam tasnya. Karena pembicaraan sudah nyambung secara iseng saya tanya alasan beliau membawa gayung. Seperti yang sudah diduga, jawabnya: kalo tak pake ciduk (gayung) serase tak mandi" demikian tanggapan beliau dalam dialek negri jiran yang bercampur Indonesia. Ternyata kebiasaan mandi tak mengenal status sosial. :-)) Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H