Masih ingat dengan ungkapan "ach itu kan teori" yang pernah populer beberapa tahun yang lalu, ? Ya, ungkapan itu menunjukkan ketidaksesuaian antara yang disampaikan kepadanya dengan apa yang telah diketahuinya lewat pengalaman. Ungkapan sederhana ini bila tidak disikapi dengan bijaksana tentu akan menimbulkan dampak dalam jangka panjang apalagi jika ini terjadi antara dua orang seharusnya bekerja sama. Dampak yang paling parah terjadi pada hubungan antara atasan dan bawahan. Lalu bagaimana menyikapi hal ini? haruskan atasan selalu bicara dengan segala teorinya ataukah bawahan harus selalu bicara dengan pengalamannya. Dalam kasus ini sebenarnya terlihat adanya 'persaingan' tersembunyi antara keduanya. Atasan yang entah karena pendidikan, prestasi yang menonjol dalam salah satu bidang di pekerjaan sebelumnya, atau karena hal lainnya merasa perlu 'mengajari' bawahannya dengan teori. Kadang 'teori' yang disampaikan sebenarnya bukan suatu teori dalam arti ilmiah tapi lebih kepada 'apa yang seharusnya terjadi/dilakukan'. Karena fungsinya yang menuntut dia melakukan hal-hal yang bersifat memberikan arahan (kerennya 'strategic direction') maka kadang dengan terpaksa dia melupakan kenyataan. Terlebih lagi bila memang dia tidak punya pengetahuan dan pengalaman dalam bidang yang bersangkutan. Lebih parah lagi bila ada komplikasi masalah kepribadian dalam kepemimpinannya. Dari pihak bawahan, sebagai suatu bentuk pertahanan 'defense mechanism' maka dia akan menonjolkan sesuatu yang dianggap tidak dimiliki oleh atasannya yaitu pengalaman nyata dalam hal yang bersangkutan (hands-on experience) dengan harapan agar atasan juga mengakui kelebihannya. Tidak jarang pula atasan ditanya dengan kasus nyata terkait 'teori' yang diajarkan yang bisa bermaksud untuk memperjelas pemahaman tentang teori yang sedang diajarkan atau memang ingin mengui atasannya. Dalam batas tertentu kedua hal ini sah-sah saja karena masih dapat menimbulkan dampak positif bagi kedua belah pihak. Namun bila sudah menjadi suatu rutinitas dan bisa menjadi 'perang' antara atasan dan bawahan maka hal ini akan mempengaruhi produktivitas kerja. Bagaimana menyikapi hal ini? Selalu berpijak pada realita dalam menanggapi masalah dan membangun harapan dalam menyelesaikan masalah, membangun budaya kerja yang saling menghargai peran setiap individu dalam organisasi merupakan pendekatan terbaik. Kesadaran akan kelebihan dan kekurangan dari setiap individu dapat memperkuat upaya ini untuk membentuk suatu kerjasama tim yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H