Mohon tunggu...
Henki Kwee
Henki Kwee Mohon Tunggu... -

Belajar memahami apa yang terjadi di sekitar dan menulis untuk berbagi pendapat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surya Paloh: Habis Pura-pura Terbitlah Terus Terang

1 Juni 2010   14:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:49 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam simposium Nasional Demokrat yang diadakan hari ini di Jakarta, Surya Paloh sebagai salah satu pembicara menyampaikan satu pokok pikiran untuk restorasi bangsa ini yaitu pentingnya perubahan perilaku yang penuh kepura-puraan menjadi perilaku yang terus terang. Pokok pikiran ini sungguh tepat karena dari pengamatan pada kehidupan sehari-hari memang perilaku penuh kepura-puraan sangat mendominasi kehidupan kita. Ungkapan 'maling teriak maling' adalah salah satu contohnya. Belum lagi jika ditambah dengan tidak satunya antara kata dan perbuatan dari para pemimpin atau oleh diri kita sendiri. Sifat penuh kepura-puraan (hipokrit) bangsa ini sudah terjadi sejak lama karena Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya di tahun 1977 yang dibukukan dalam buku "Manusia Indonesia" telah menyinggung hal ini. Chappy Hakim, seorang kompasioner top juga pernah menulis hal tersebut dalam forum ini.  Begitu mendasarnya masalah ini sehingga perlu upaya yang terus menerus dan konsisten untuk merubahnya. Perubahan ini tentu akan menghadapi tantangan yang besar karena kita sudah begitu lama menyaksikan atau bahkan menikmati perilaku hiprokrit ini. Kita menyaksikan bagaimana orang yang hanya bermodalkan kepura-puraan dapat menikmati kehidupan yang nyaman, berbeda dengan orang hidup dengan memegang teguh prinsip hidup yang dilandasi keyakinannya.  Di lingkungan rumah, kantor, parlemen, negara atau bahkan organisasi dunia kita  bisa menyaksikan hal ini. Kepura-puraan juga bisa muncul dalam bentuk penggunaan standar ganda. Lihat contoh bagaimana sikap negara besar dalam masalah hak asasi manusia dan isu lingkungan. Dalam kaitan dengan restorasi sikap mental bangsa kita, kelestarian sikap pura-pura selalu terjaga karena selain memberikan kenikmatan juga di'lindungi' atau didukung alasan 'tidak mau menyinggung orang lain' atau 'bersikap bijaksana' . Penggunaan eufemisme yang berlebihan dalam berbahasa juga menopang kelestarian perilaku hipokrit. Contoh paling populer dalam hal ini adalah penggunaan kata 'penyesuaian' untuk mengganti kata 'naik harga'. Bukankah kenyataannya harga memang naik karena jumlah uang yang dibayar lebih banyak dari waktu sebelumnya untuk barang dengan jumlah yang sama. Penggunaan kata 'penyesuaian' hanya menunjukkan sikap egois pelaku yang berusaha untuk mendapatkan maklum dan seolah-olah sudah berusaha untuk tidak menaikkan harga. Tantangan lain yang dihadapi untuk perubahan sikap ini adalah sifat paranoid yang sudah terbentuk. Coba kita perhatikan betapa sulitnya kita untuk meyakinkan orang meski kita menyatakan yang sebenarnya. Akhirnya demi tercapainya tujuan kadang kita harus mencari 'cara lain' agar ide atau perkataan kita bisa diterima. Akhirnya kita berkomentar 'emang senangnya dibohongi, dibilang yang sebenarnya gak terima" Nah, kembali ke pertanyaan paling dasar, siapa dan bagaimana harus memulai perubahan sikap ini. apakah kita siap menjadi martir untuk perubahan ini? Jika ya maka 'dari pura-pura terbitlah terus terang' akan cepat terwujud. salam [caption id="attachment_155699" align="alignnone" width="300" caption="sumber: vibizdaily.com"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun