Mohon tunggu...
Henki Kwee
Henki Kwee Mohon Tunggu... -

Belajar memahami apa yang terjadi di sekitar dan menulis untuk berbagi pendapat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kalo di Amerika.....

21 Januari 2010   02:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ungkapan di atas "kalo di Amerika ..." seringkali kita dengar dalam percakapan tentang situasi negri ini. Ya, tidak dapat kita pungkiri bahwa kesan Amerika Serikat sebagai negri adidaya melekat begitu kuat di pikiran sebagian besar orang Indonesia mulai dari orang yang belum pernah keluar negri, hanya mendapat informasi dari media sampai yang pernah tinggal di sana entah untuk sekolah atau bekerja. Sekedar untuk mendukung pendapat di atas. Coba perhatikan setiap diskusi yang diadakan baik di radio, televisi atau dalam ruang seminar, pasti akan terselip ungkapan di atas atau paling tidak ungkapannya jadi "kalo di negara maju ....". Yang menjadi pertanyaan, kenapa begitu? apakah ini cerminan bentuk kerinduan akan adanya suatu sistem seperti yang mereka lihat di negara maju, suatu bentuk inferioritas, atau memang kita tidak punya pendapat tentang bagaimana suatu tata kelola yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Mencontoh sesuatu yang baik adalah tindakan yang harus dilakukan namun tetap harus disesuaikan dengan kondisi kita. Lihatlah apa yang dilakukan Jepang selama masa Restorasi Meiji yang menandai kebangkitan mereka. Teknik reverse engineering yang dilakukan Jepang dan Cina untuk memajukan industri manufaktur mereka. Pada dasarnya tindakan mereka adalah mencontoh namun disesuaikan dengan kondisi mereka. Dengan melakukan itu mereka bisa maju. Sebenarnya bangsa kita juga rajin mencontoh namun sayang yang dicontoh masih banyak hal-hal yang tidak produktif dan bermanfaat. Kita mencontoh pola hidup instan, fashion, bahkan lidah kita pun kita bengkokan hanya supaya terkesan berpendidikan dan memiliki kelas sosial tertentu. Tapi, hal-hal sederhana yang baik masih sulit kita contoh. Kita masih berbudaya jam karet, bangga jika bisa melanggar aturan. senang dengan kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Saya rasa pendapat Mochtar Lubis yang disampaikan dalam suatu pidato kebudayaan (bisa juga lihat tulisan pak Chappy Hakim tentang hal ini (Lihat) masih relevan untuk kita renungkan. Dari perspektif lain saya lihat kita memiliki kesadaran kolektif akan adanya kelemahan atau kekurangan bangsa ini yang masih perlu diperbaiki. Seandainya kita juga memiliki kesadaran kolektif yang sama untuk memperbaiki kekurangan maka pembangungan akan semakin baik. Dengan semangat kolektif untuk membangun maka hal-hal yang tidak produktif akan berkurang. Energi kita lebih banyak dimanfaatkan untuk hal-hal positif, tidak untuk membuat kericuhan atau masalah yang tidak perlu. sehingga cita-cita untuk memujudkan masyarakat yang adil dan makmur akan lebih mudah tercapai. [caption id="attachment_57963" align="aligncenter" width="150" caption="http://www.balitrendy.net/images/hargadiri.gif"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun