Subsidi BBM sangat memberatkan APBN. Alasannya banyak dikonsumsi oleh mereka yang seharusnya sudah tidak lagi menggunakan bbm bersubsidi. Tapi siapakah mereka itu? Mereka itu adalah yang bermobil, yang berlaptop, yang berapartemen, mereka yang alias sudah mapan. Tahun 2013, menurut pengusaha minyak Arifin Panigoro, 77% orang kelas menengah ke atas menjadi konsumen bbm bersubsidi. Oleh sebab itu, tidak terlalu berat bagi mereka untuk menerima kenaikan harga BBM, yang harganya masih di bawah BBM non-subsidi. Kan hanya naik 2000!
Sementara itu, orang-orang miskin yang dari awal menjadi alasan dari subsidi BBM ini, merasa tercekik. Mereka bertanya, “mengapa dampak dari perilaku buruk mereka yang mapan mesti ditanggung juga oleh mereka yang miskin?” APBN menjadi tertekan, bukan karean orang miskin, tetapi karena orang kaya. Semestinya perilaku orang kaya itu yang dikendalikan, bukan menggeneralisasi persoalan pada setiap kalangan.
Kelas menengah ke atas itulah yang selama ini menyalahgunakan bbm bersubsidi sehingga jebol kuotanya per tahun. Itu artinya karena kebiasaan pengiritan mereka dengan membeli bbm bersubsidi, padahal mampu membeli yang non-subsidi. Apakah hal ini disadari oleh mereka? Mesti kembali diingat bahwa BBM bersubsidi itu dari dulu ditujukan bagi mereka yang berada dalam kategori miskin. Kalau sampai kelas menengah ikut-ikutan menikmatinya, maka sesungguhnya mereka punya andil besar dalam membebani APBN yang menjadi alasan utama untuk menaikkan harga BBM.
Pada bulan Agustus 2014, Rieke Dyah Pitaloka mengatakan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM akan memiskinkan 1,5 juta rakyat. Dengan kata lain, kebijakan menaikkan harga BBM bukan sekadar kebijakan yang berdampak pada penyelamatan anggaran, krisis energi, budaya konsumtif, pengadaan energi alternatif, dan lain sebagainya yang dianggap sebagai efek positif, tetapi juga berdampak pada beratnya hidup puluhan juta rakyat miskin, dan menambah sekian juta rakyat lagi untuk jadi miskin. Apakah sekian efek positif dari menaikkan harga BBM, dapat menjadi alasan untuk memiskinkan sekian juta rakyat?
Selain itu, ketika mengeluarkan kebijakan ini, efek negatif yang sering menjadi pertimbangan adalah popularitas Jokowi-JK. Hal ini jelas sulit dipercaya, karena tidak etis sebagai seorang pemimpin yang dipilih rakyat lebih melihat popularitas dirinya ketimbang nasib rakyat sebagai efek negatif dari kebijakannya. Padahal Jokowi terkenal dengan merakyatnya. Apabila dia jatuh dalam logika politik kekuasaan dalam mempertimbangkan kebijakannya, maka dia tidak konsisten dengan apa yang menjadi prinsipnya.
Polemik ini juga terasa masih kental memuat konflik warisan pilpres. Orang berdebat bukan tentang apa kebijakannya, tapi tentang siapa yang membuat kebijakan tersebut. Opini tidak mencerdaskan dan cenderung memecah belah. Subyektivitas lebih dikedepankan, dan hal ini menjadi catatan penting bahwa bangsa ini belumlah benar-benar memiliki kesadaran “tiga jari”, sebagai simbol kembali bersatunya rakyat.
Lalu mengenai krisis energi dan energi alternatif. Dua isu ini saling terkait, dan kendalinya ada di pemerintahan. Siapa yang memutuskan untuk melakukan eksplorasi dengan perusahaan asing dan ekspor besar-besaran minyak bumi kita ketika kandungannya melimpah? Bukan rakyat tapi pemerintah. Bahkan sampai saat ini pun ekspor minyak mentah masih dilakukan. Siapa yang membuat kebijakan tersebut? Juga pemerintah, dengan alasan menambah devisa negara. Ditambah dengan mafia migas yang berpraktik secara luas selama puluhan tahun, karena pemerintah tidak tegas pada mereka.
Solusi dari krisis migas, munculkan energi alternatif. Isu ini bukan barang baru. Sudah sejak tahun 2005 digaungkan. Namun sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Masalah utama adalah penyediaan infrastruktur. Dan karena sampai sekarang masalahnya belum terselesaikan, masyarakat tidak bisa diklaim tergantung dengan energi minyak karena energi alternatif sendiri belum digarap serius untuk dikonsumsi secara luas oleh masyarakat.
Yang mau dikatakan dengan tulisan ini sederhana: kembalikan obyektivitas dalam mengkaji isu BBM secara komprehensif!! Ini bukan tentang mendukung atau menentang Jokowi, tetapi tentang menjaga kekritisan kita sebagai rakyat terhadap pemerintah. Dasar dari kekritisan ini bukanlah Jokowi yang kita dukung jadi presiden, tapi demokrasi substansial yang mana pemerintah tidak hanya keberadaannya, tetapi dalam perjalanannya benar-benar berprinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kita bukan politisi seperti Rieke Dyah Pitaloka atau Adian Napitupulu, yang tersandera oleh politik partai sehingga memilih tidak berkoar-koar seperti dulu. Kita adalah rakyat, dan pedoman kita adalah kedaulatan rakyat di atas segala-galanya. Jangan sampai kita merasa tersandera dengan masa lalu karena kita memilih Jokowi jadi presiden. Yang harus kita jaga memang Jokowi tetap memimpin negeri ini, tetapi yang lebih penting daripada itu untuk kita jaga adalah Jokowi tetap memimpin negeri ini dengan konsisten pada visi-misinya.
Kita setuju bahwa subsidi BBM memberatkan APBN, perbaiki perilaku kita dan kelas menengah keatas lainnya yang suka mengkonsumsi BBM bersubsidi. Kalau subsidi tidak jebol, maka tidak perlu ada kenaikan harga BBM yang menyiksa sebagian rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Kita pun wajib menyuarakan ini pada Jokowi, bahwa jangan sampai karena kesalahan kita, Jokowi membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat miskin.
Kalaupun harga BBM sudah tidak dapat diturunkan, maka Jokowi harus secepatnya merealisasikan program yang dapat meringankan penderitaan rakyat. Efek dari kenaikan harga BBM ini sudah terasa sampai pada harga pangan. Jokowi mesti segera menormalisasi pasar. Pangan itu bicara kebutuhan setiap hari. Dari hari ke hari melihat harga semakin naik, dan jika selama itu juga tidak ada penyikapan dari pemerintah, maka akan terjadi distrust pada Jokowi. Bukan pada kebijakannya, tetapi lebih kepada karakternya yang akan dinilai kurang memiliki sense of social crysis. Inilah yang mesti tetap kita suarakan dan serukan. Termasuk diantaranya adalah kebijakan energi yang menyangkut ekspor, energi alternatif, dan mafia migas.
Pada kenyataannya kita harus melihat bahwa ada begitu banyak kekuatan politik, tidak hanya nasional tapi juga internasional, yang berusaha memaksa Jokowi untuk mengikuti kemauan mereka. Dalam hal ini, rakyat harus memiliki posisi tawar yang diperhitungkan oleh para kekuatan politik tersebut. Posisi tawar itu bisa diciptakan kalau rakyat tetap kritis. Bukan dengan mengandalkan hasil perolehan suara di pilpres kemarin. Jangan sekali-kali berpikir Jokowi sedang bekerja di ruang kosong tanpa konflik dalam mewujudkan visi-misinya. Kita harus tetap berpikir bahwa Jokowi adalah kita yang juga sangat membutuhkan dukungan dan kritik dalam menjalankan pemerintahan di negeri ini.
Salam ~n’dY
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H