Kabut asap dari pembakaran gambut kembali menjadi isu seksi setelah kebakaran hebat pada tahun 1997. Berdasarkan data kebakaran gambut bukan hal baru, dan selalu terjadi setiap tahun sejak tahun 1997/1998 ketika fenomena El Nino skala kuat terjadi. Pada tahun 2015 ini, berbarengan dengan datangnya musim kemarau yang berkaitan dengan El Nino, kebakaran hutan dan lahan terjadi luas di seluruh Indonesia, dan tidak hanya gambut tetapi juga lahan kering terbakar. Menurut prakiraan LAPAN, kebakaran hutan dan lahan dari periode 1 Juli sampai 20 Oktober 2015 luasnya kurang lebih 2 juta hektar, tersebar pada pulau Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Jawa dan Maluku. Yang justeru lebih luas terbakar lahan kering, yaitu sekitar 1,5 juta Ha, dan sisanya yang terbakar lahan dan hutan gambut. Dan mengapa gambut menjadi isu seksi bagi masyarakat Indonesia dan internsional.
Kebakaran gambut adalah kebakaran bawah tanah, dan tidak menyebabkan bahan organik yang terbakar menyala tetapi hanya membara. Akibatnya, timbul banyak asap karena terjadi proses pirolisis atau perubahan fase cair menjadi gas-gas. Sebagian gambut yang terbakar menjadi partikulat dan serbuk abu yang mengancam kesehatan saluran pernafasan manusia dan hewan primate, seperti orang utan dan bekantan. Polusi kabut asap tersebut juga mengandung gas-gas Karbon, yang dapat menambah konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfir, dan berdampak pada peningkatan temperatur. Hal ini sudah sering dibahas, karena itu tidak akan saya uraikan lagi.
Yang akan saya uraikan adalah fenomena pembakaran gambut dari sudut pandang pengelolaan sumberdaya alam (SDA), yang selama ini dipraktekkan di Indonesia. Tesis yang ingin saya usung bahwa pengelolaan SDA di Indonesia sejak zaman orde baru, kemudian zaman reformasi, dan akhirnya zaman kabinet kerja Jokowi tidak banyak berubah, yaitu tetap fokus menundukkan daripada merawat SDA. Upaya menundukkan SDA Indonesia berwujud pada perilaku eksploitasi yang intensif atas hutan, dan bahan tambang. Kedua sumberdaya ini paling mudah dikeruk dan dikuasai daripada menguasai dan menundukkan sumberdaya laut. Namun tidak berarti paradigm menundukkan sumberdaya perikanan laut tidak terjadi. Lalu mengapa upaya eksploitasi dan menundukkan sumberdaya alam lebih dominan di Indonesia?
Manusia Indonesia tidak mampu merawat SDA, tetapi hanya berpandangan jangka pendek untuk memperoleh keuntungan sesaat. Hal ini terjadi karena SDA Indonesia tidak dipelajari untuk dirawat, tetapi diperlakukan sebagai semata-mata komoditas berfungsi ekonomi. Lahan gambut, misalnya, dipandang sebagai lahan marjinal dan tidak pernah dipelajari dengan detil. Pada zaman penebangan kayu, hutan rawa gambut hanya dihargai karena memiliki tegakan kayu ramin dan beberapa kayu komersial lainnya. Setelah kayu-kayu di hutan habis, hutan rawa gambut dipandang tidak bermanfaat, dan dibiarkan seperti lahan tidak bertuan.
Kemudian, pemerintah memberikan banyak izin untuk mengubah lahan gambut menjadi kawasan perkebunan dan hutan tanaman. Pemberian izin ini adalah bentuk eksploitasi, yang sering dilakukan secara tidak bertanggung jawab, dan berkaitan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek. Dilapangan, secara legal, kawasan gambut yang telah dimiliki oleh korporasi, namun dilapangan tidak ada kegiatan, dan lahan seperti tidak ada tuannya. Demikian juga pada kawasan lindung dan konservasi gambut, keberadaan pemerintah sebagai otoritas sangat minimal dan tidak terasa manfaatnya bagi masyarakat lokal. Lahan-lahan gambut yang tidak dikelola tersebut atau minimak kelola, walaupun ada yang punya, menjadi mudah dirambah, dan rentan pembakaran. Besar kemungkinan, pada El Nino yang akan datang, kawasan gambut di Indonesia akan terbakar hebat lagi, dan timbul bencana kabut asap besar karena perilaku untuk merawat sumberdaya gambut tidak dilaksanakan.
Jika bencana kabut asap hendak diatasi, sangat perlu merubah tata kelola SDA (baca gambut) dari perilaku menundukkan menjadi merawat. Untuk menjadi perawat, baik pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, yang bertindak sebagai subyek harus betul-betul memahami sifat-sifat SDA tersebut. Tanpa pengetahuan, mustahil proses perawatan akan menjadi baik. Pada saat ini, tingkat pengetahuan atas gambut di Indonesia masih dangkal. Jumlah peneliti gambut di Indonesia kurang dari 50 orang, padahal luas gambut tropis di Indonesia mencapai 20 juta hektar, yang terluas di dunia. Dan tidak banyak orang Indonesia yang mau mempelajari gambut karena sulitnya kondisi rawa, yang lokasinya jauh dan sering terendam air. Jumlah peneliti asing yang mempelajari gambut di Indonesia nampaknya lebih banyak.
Hal ini terlihat dari banyak artikel-artikel ilmiah tentang gambut Indonesia yang ditulis oleh peneliti-peneliti asing. Setelah kebakaran pada tahun 1977, banyak sekali proyek gambut bantuan negara asing di Kalimantan Tengah. Banyak master, doctor dan profesor yang dihasilkan dari proyek-proyek ini bagi peneliti asing. Benar bahwa sejumlah master dan doktor dari Kalimatan Tengah dihasilkan dari proyek-proyek gambut ini. Pada tingkat tapak, kapasitas lokal dalam pengelolaan gambut belum banyak berubah, sayangnya. Ini menunjukkan masih kurangnya Sumberdaya manusia Indonesia yang memahami gambut di Indonesia.
Selain mempelajari gambut dengan detil dan teliti, perlu diubah kebijakan pemerintah. Yang paling mendesak, mengevaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta izin tambang pada lahan gambut. Pemerintah hendaknya menyeleksi, dan hanya mendukung korporasi yang memiliki kapasitas untuk mengelola gambut lestari (sustainable development). Namun, pemerintah juga perlu menyiapkan perangkat, sumberdaya manusia, dan program untuk mengantisipasi apabila izin-izin tersebut dicabut, dan lahan gambut tidak dibiarkan tanpa tuan. Tentu hal ini pasti berat.
Jika niat pemerintah untuk merawat dan melindungi gambut dan SDA lain dari kehancuran, hendaknya dibangun pranata, ilmu dan teknologi yang sesuai untuk melakukan kegiatan merawat daripada hanya menundukkan dan mengeruk kekayaan SDA di Indonesia. Yang ditakutkan adalah pemerintah hanya bisa mencabut izin korporasi yang sudah ada, dan kemudian mentransfer izin tersebut kepada korporasi-korporasi lain yang disukainya. Tentu, ini termasuk contoh perilaku yang menundukkan SDA, bukan merawat SDA. Kalau perilaku ini selalu diamalkan, kehancuran SDA Indonesia hanya menunggu waktu (*peniliti gambut dari Universitas Tanjungpura, Pontianak).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H