Mohon tunggu...
Ronny Hermawan
Ronny Hermawan Mohon Tunggu... -

Segala sesuatu tidak ada yang gratis dan pasti ada perhitungannya .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memulung ini Pilihanku

8 Februari 2013   11:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:18 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di penghujung malam ada irama mengelitik entah dosa atau aku mulai lupa , Sarung lusuh hanya bisa ku pajang diantara dinding bilik bambu di sudut kamar seolah rindu ku pakai mengadu kepada haliq . Remang lampu minyak mengisyaratkan ternyata hidupku cuma sebatas kunang kunang yang terbang merobek malam . Kadang aku berfikir di penghujung usia ku apa yang bisa aku beri yah ....... Kuterawang atap genting yang sesekali tembus oleh air hujan dan celoteh cicak seolah mengejek bahwa aku hanya bisa bermain dengan sebuah takdir yang bernama kemiskinan . Semakin lama aku diam dalam sejuta penyesalan ketika ku lihat anak sulungku yang beranjak dewasa tapi tidak dapat mengeyam pendidikan layaknya anak tetangga sebelah .

Kurasakan malam semakin lama aku tenggelam dalam keterpurukan menyesali ketika kemiskinan selalu setia menemaniku , tak ubahnya senyum sesaat  ketika beberapa tumpuan kardus bekas bisa berubah beberapa lembar uang sepuluh ribuan . tapi apa cukup buat mencukupi kebutuhan beberapa hari kedepan sambil terus beranjak dari satu tempat ketempat mengais sampah bagi mereka  tapi rejeki buat ku dan keluargaku .

Dari selembar koran usang terpampang sang Putri Negeriku terpampang dengan kasus korupsinya , Gunemku dalam hati ini pembedanya aku melakukan memulung barang rongokan dengan kail besi dan keranjang usang yang ketika sorenya hanya bisa ditukar denga seliter beras untuk menyambung hidup esok anakku sedang sang putri hanya dengan sekali lentikan jari bisa memulung ratusan juta sambil bercengkrama , jalan - jalan keluar negeri dengan keluarga kecilnya .

Oh sang malam masih kau kutukah aku menjalani kehudupan ini ?. Jika sebuah buku kematian ada maka izinkan aku menitip pesan atau kutulis sendiri guna mematikan kemiskinan ini dariku dan jadikan aku pemulung yang punya arti dari sebuah keabadian sebagai profesi . Ku rebahkan tubuh ku dia atas kardus merk rokok sambil menatap malam menjemput pagi dimana sampah dan barang rongsokan telah menanti .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun