" Hidup partai A ... ,  Hidup partai B ... ,  Hidup partai C ... , " Ramai teriakan orator bayaran  negeri ini demi kepentingan kue kekuasaan . Kalau tulisan ini dianggap mengkritik mungkin wajar , ditengah hiruk pikuk pesta demokrasi 5 tahunan . Mari belajar menilai siapa yang dipilih dan siapa yang memilih . Untuk wilayah pinggiran atau pedesaan setiap ditanya siapa yang dipilih pasti lebih banyak yang tidak mengenal siapa kelak yang menjadi calon wakil mereka di negeri ini , dan lebih mengenal  dengan tokoh lakon di acara joget jogetan di salah satu TV swasta setiap sore hingga malam .
Hiruk pikuk pesta demokrasi memancing  pembuat wedang , tukang sol sepatu , penjual koran terpancing ikut bursa menjadi sang birokrat pembuat kebijakan dengan alasan mewakili nasib orang kecil tanpa modal finansial dan kemampuan berpolitik  , tapiharus mampu  bersaing dengan para dedengkot birokrat yang sudah duduk berpuluh tahun dengan kelompok serta kroninya . Pernahkan berfikir kepentingan politik langsung hanya menimbulkan prakmatis siapa yang kuat , baik besaran  biaya kampanye , pencitraan seorang figur , nasionalis dan agama coba di reduksi dengan kata kesejahteraan serta kemakmuran rakyat . Terlalu naif sedang beberapa pemuda pemudi bangsa sedang duduk menimba ilmu di bidang pemerintahan yang berjuang dengan seleksi yang ketat dan mewakili demografi wilayah mereka masing masing di kesampingkan setelah lulus ( STPDN sekarang IPDN ) , Yang uniknya mereka hanya bisa memepati posisi tertinggi sebagai camat , karena lurah ,bupati , walikota , gubenur dipilih dengan cara langsung dan nota bene di usung partai politik atau kelompok tertentu . dengan modal figur dikenal orang , adanya kekuatan modal dari para pendukung maka mereka bisa memimpin tapi ketika berhasil dipilih sebagai pemimpin harus memberi jatah kepada pengusungnya . Tapi coba dilihat perbandingan antara yang benar mengapdi dan yang berakhir dengan kasus korupsinya perbandingannya ternyata lebih banyak yang masuk penjara terseret kasus .
Jika  pengikut golput makin tinggi maka jangan disalahkan karena memang kepercayaan kepada para calon yang mewakili telah minim . Sidang penting untuk kesejahteraan rakyat yang katanya mereka bela malah  meja pada kosong , tapi ketika rekreasi yang di bungkus dengan kata studi banding malah ada karena ada besar anggarannya dan bisa mengajak anggota keluarga nya. Apalagi keburukan negeri ini yang mesti di umbar dari sebuah kelucuan yang dibuat dengan mahalnya harga sebuah pemilihan umum  . Dan dalam satu bulan kedepan mereka berlomba - lomba mempertahankan kepercayaan dengan cara iklan di TV , bagi-bagi sembako , serangan fajar dengan pembagian amplom berisi uang , tapi yang lucunya lagi sudah tahu itu pelanggaran tapi masyarakat mau menerima uang ataupun sembako tersebut karena alasan " di beri kok " .
Mari lebih cerdas menilai di tengah uforia mengeluarkan hak memilih yang ternyata hanya dijadikan alat untuk dimiliki sekelompok orang yang ingin menguasai negeri ini . Kalau istilah jangan beli kucing dalam karung dalam memilih kelak ada baiknya dari sekarang dipahami apa yang kita inginkan terhadap orang orang yang ingin berkuasa mewakili kita .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H