Mohon tunggu...
Gwyneth Mandala
Gwyneth Mandala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

luscus cultricem.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menguak Kisah Bejat di Balik Gemilangnya Produk H&M dari Bilik Cultural Jamming.

30 Maret 2021   21:42 Diperbarui: 30 Maret 2021   22:10 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Culture jamming merepresentasikan ulang simbol dan objek yang selama ini diproduksi massal oleh korporasi atau kelompok budaya merek dominan. Culture jamming berarti mengganggu atau menghalangi sebuah budaya yang ada di kehidupan masyarakat, yakni budaya konsumtivisme sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme dan globalisasi. 

Jammers merupakan suatu istilah bagi mereka para pelaku culture jamming. Culture jammer pada umumnya melihat nilai-nilai sosial, budaya, politik diambil alihkan oleh kepentingan komersial. Culture jamming menuangkan berbagai ide melalui media untuk membuat  masyarakat lebih berpikir kritis. Hal ini dijadikan sebagai strategi bagi suatu perusahaan untuk membuat produknya menjadi lebih dikenal massa.

B. Keterkaitan dengan Postmodernisme

Postmodernisme mengarah pada produk kultural yang berbeda dari produk kultural modern. Postmodernisme sendiri meliputi periode historis baru, produk kultur baru dan tipe baru dalam penyusunan teori tentang kehidupan sosial. Menurut Ritzer dan Goodman (2004), ada 3 konsep tentang postmodern :

Pertama, konsep postmodern ditujukkan pada keyakinan yang tersebar luas bahwasannya era modern telah berakhir dan kita memasuki periode historis baru, yaitu postmodern.

Kedua, postmodern berhubungan dengan dunia kultural dan dapat dikatakan bahwasannya produk postmodern cenderung menggantikan produk modern.

Ketiga, teori sosial postmodern merupakan suatu hal yang berbeda dengan teori sosial modern. Pemikiran postmodern menolak semua landasan karena cenderung menjadi relativistik, irrasional dan nihilistik.

C.     Poster Plesetan dari Logo H&M

Mengulik kembali apa yang telah dituliskan pada bagian awal tulisan ini. Dilansir dari Tirto.id menyatakanbahwa aliansi LSM buruh dan HAM menemukan dan menguak dalam laporannya yang dipublikasikan 28 Mei lalu. Laporan tersebut disusun berdasarkan hasil riset lapangan beberapa LSM seperti Asia Floor Wage Alliance (AFWA), CENTRAL Cambodia, Global Labor Justice, Sedane Labour Resource Centre (LIPS) Indonesia, dan Society for Labour and Development (SLD) India. Dalam laporannya, mereka menyatakan pekerja garmen perempuan di pabrik dua jenama fashion ternama, Gap dan H&M, cabang Asia kerap mengalami kekerasan seksual dan fisik akibat tuntutan target perusahaan. Tindak kekerasan ini meliputi pelecehan verbal, ancaman, sampai pemaksaan lembur. Kekerasan tak sebatas terjadi di lokasi kerja, tetapi juga di luar pabrik. Global Labor Justice menegaskan ada faktor sistematis yang membuat pekerja perempuan seringkali jadi sasaran aksi kekerasan dalam mata rantai industri garmen. Faktor itu antara lain kontrak jangka pendek, target produksi dan jam kerja yang berlebih, pemenuhan upah yang minim, sampai ketidakamanan tempat kerja. Lebih dari 540 pekerja di pabrik pemasok dua jenama tersebut menggambarkan pengalaman buruknya. Kejadian rata-rata terjadi selama Januari dan Mei 2018 di Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, dan Sri Lanka. Fakta berbicara, segala kekerasan yang dialami pekerja garmen di pabrik pemasok jenama fashion macam H&M maupun Gap itu bukanlah yang pertama terjadi. Riwayatnya panjang dan sampai sekarang belum ada inisiatif dari pihak perusahaan guna memperbaiki situasi. Masalah lainnya adalah pelecehan seksual di tempat kerja. Menurut narasumber penelitian, pelecehan seksual adalah "hal yang biasa dijumpai."

Hal yang katanya sering dijumpai ini bukanlah sesuatu yang patut dibiarkan namun perlu ditiadakan. Salah satu bentuk protes dan suatu gerakan baru ialah dengan mengubah logo H&M seperti yang ditunjukkan pada gambar diatas. Dimana gambar tersebut merepresentasikan pekerja-pekerja perempuan terlihat dari kaki-kaki pada gmbar dengan tambahan sepatu high heels yang identik dengan seorang perempuan yang dituntut dan dipaksa untuk bekerja bagi brand yang gemilang di mata masyarakat atau para konsumennya.

Jadi masih inginkah Anda turut mengambil bagian dari penderitaan mereka yang ada di balik layar ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun