"Jadi karmana  Kaka Felix pung tanggapan tentang pihak-pihak yang tersinggung deng kaka pung tulisan ?" (Jadi bagaimana tanggapan Kakak Felix, mengenai pihak-pihak yang tersinggung dengan tulisan Kakak ?)
" Menulis dulu, masalah dikomentari ah itu nanti dulu adik ! "
Begitu ungkap Kaka Felix Nessi salah seorang pendiri Komunitas LEKO NTT yang ditanyai saya ketika  hadir dalam Acara Peluncuran dan Diskusi Buku kumpulan puisinya yang baru diterbitkan dengan judul "Kita Pernah Saling Mencintai".  Acara Peluncuran yang diadakan melalui Zoom Cloud Meeting pada 10 Maret 2021 lalu. Diskusi yang menggabungkan antara Komunitas LEKO kupang-NTT bersama klub Buku Petra juga SastraGPU atau bidang sastra di penerbit Gramedia Pustaka Utama. Dalam diskusi daring ini pembahasan utama tentunya adalah membahas segala yang terkait dengan buku kumpulan puisi yang baru saja diterbitkan, kemudian masuk dalam sesi tanya jawab bersama partisipan dan sharing antar komunitas yang tergabung di dalamnya.
Kemudian saat sesi tanya diberlangsungkan, saya langsung memberi diri untuk bertanya kepada Kakak Felix Nessi untuk menanyakan perihal tulisan-tulisan beliau yang sangat kritis dan mendalam sehingga mengundang berbagai perspektif dari tokoh-tokoh masyarakat. Mengingat juga kasusnya yang belum terlalu lama mengenai tulisan dan tindakan memecahkan kaca gereja karena mengkritisi seorang Romo Kepala Sekolah yang melakukan pelecehan seksual yang dalam tulisannya melalui postingan di Instagram @KomunitasLeko mengatakan bahwa Romo ini memang sudah sering bermasalah mengenai masalah perempuan. Lalu saya pun mencoba menanyakan lagi perihal keberaniannya ketika mengkritisi bahkan hingga memecahkan kaca, karena sikap dari oknum pejabat gereja katolik ini.
Lantas saya menanyakan keberaniannya dalam berdinamika bersama Komunitas LEKO serta dalam menerima resiko apapun saat menulis apapun yang tertanam dalam benaknya dan bagaimana beliau menyikapi masyarakat yang menolak karena tersinggung dengan cara penulisan para anggota komunitas LEKO dan salah satunya Kaka Felix ini. Lalu, dengan santai Kaka Felix  menjawab dengan bahasa Kupang beserta ciri khasnya bahwa "ah beta tulis bebas apa saja yang mau beta tulis, masalah komentar orang saya tidak ambil pusing". Beliau menegaskan bahwa dalam berkarya seperti menuliskan isi hati jangan jadi orang yang takut, jangan mau dikekang oleh pikiran orang lain.
Terlihat juga dalam ciri khas Komunitas LEKO sendiri yang dalam jargon komunitasnya menyatakan bahwa "Baca dulu, Baru Komentar" ini menunjukkan bahwa dalam komunitas sendiri mengajarkan untuk membaca karya atau membedah isi bacaan terlebih dahulu baru memberi masukkan begitu juga sebaliknya dalam menulis atau menghasilkan suatu karya, menulislah sesuai dengan realita dan apa yang ada pada benak setiap anggota, mencoba jujur tanpa takut dikritik bahkan berani menerima resiko apapun. Layaknya Kakak Felix Nessi yang menjadi pendiri sekaligus panutan yang berani menghadapi tamparan dan kritik pedas dari masyarakat.
Dalam komunitas LEKO NTT juga mengajarkan untuk membedah isi buku bacaan dari rumah masing-masing dan kemudian mencoba untuk menganalisis permasalahan apa saja yang ditimbulkan dan membuat resensi buku tersebut. Dengan begitu, akan melatih secara terus menerus dan menumbuhkan kebiasaan bagi para anggota untuk bersikap kritis dan tangguh menghadapi kritikan masyarakat. Menjadi para anggota untuk menjadi pribadi yang tidak seperti pepatah berkata bahwa "Tong Kosong, Nyaring Bunyinya." Jangan jadi manusia yang hanya mampu berkomentar tanpa membaca dan melihat  karya-karya dunia, karena dengan melihat situasi terlebih dahulu mampu menjadikan kita manusia yang bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H