Kisruh Menpora melawan PSSI masih terus berlanjut. Upaya damai yang diinginkan banyak pihak rasanya seperti mimpi di sinag bolong. Boro-boro melandai, konflik justru terus meruncing. Terbaru, kabar match fixing semakin memanaskan suasana. Metro TV, lewat acara Mata Najwa tadi malam (24/06) mengangkat isu pengaturan skor menjadi topik diskusi dalam episode ‘Blak-blakan Membuka Sepak bola Indonesia’. Entah apa tujuannya, mengakomodasi atau malah memanaskan, acara ini sukses memancing reaksi para pecinta bola di tanah air.
Sepak bola dewasa ini menjadi permainan yang superkompleks. Kecanggihan teknologi, data statistik, Akademi Sepak bola modern, adalah bentuk modernisasi sepak bola. Untuk mampu bersaing, setiap tim harus punya bekal tersebut.
Namun masalah utamanya adalah UANG alias duit or money.
Belum lagi soal biaya operasional sebuah tim mencakup gaji pemain dan staf pelatih, sewa lapangan, akomodasi selama pertandingan. Jangan dulu berpikir soal investasi membangun lapanagan sepak bola seperti klub-klub di Liga Inggris.
Ya, semejak pemerintah melalui Mendagri meneken Permendagri Nomor 1 Tahun 2011, klub dilarang memakai APBD untuk pembiayaan. Pemerintah berdalih, bahwa dana dari APBD tersebut bisa untuk bidang lain yang lebih membutuhkan dana, misal pendidikan dan kesehatan. Selain itu, dana APBD untuk klub juga rawan diselewengkan oleh pengurus dan pejabat daerah setempat.
Dampak dari peraturan ini adalah, klub mau tidak mau harus mencari dana untuk membiayai keperluan klub selama mengarungi kompetisi. Mereka pontang-panting mencari sponsor. Sesuatu yang tentu tidak gampang. Tengok Persija, ada ribuan perusahaan di Jakarta, tapi Persija masih saja kesulitan mendapatkan sponsor yang pas. Sebabnya, pengusaha tentu tak mau begitu saja ‘menghibahkan’ uangnya tanpa ada imbal hasil yang setara. Soal ini, kita harus akui bahwa sepak bola kita tak se-profitable EPL atau Liga BBVA.
Sumber pendapatan lain, yaitu penjualan tiket dan souvenir. Selain kapasitas stadion yang juga tak semegah Old Trafford, kebanyakan kita lebih suka nonton di TV daripada datang langsung ke stadion. Selain urusan kantong, jaminan keselamatan juga menjadi alasan kenapa tak banyak orang berbondong-bondong ke stadion. Soal souvenir, kualitas dan harga harus menyesuaikan dengan kondisi perekonomian. Selain itu, kreativitas harus terus dipacu untuk menghasilkan produk yang layak beli.
Namun, meskipun segala cara sudah ditempuh, masih saja lebih besar pasak daripada tiang. Maka jalan keluar yang sering daimbil oleh manajemen klub adalah MENUNGGAK GAJI PEMAIN. Alternatif lainnya adalah MENJUAL PERTANDINGAN alias SKANDAL PENGATURAN SKOR. Memang alternatif ini belum terbukti secara gamblang, tapi bayangkan saja di Serie A hal tersebut sudah terbongkar, mana mungkin hal ini tidak terjadi di Indonesia?
Pertama soal mental korup. Kedua soal transparansi. Dua hal ini yang membuat saya menyimpulkan pasti adanya skandal pengaturan skor di sepak bola tanah air.
Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang superketat yang mengatur soal manajemen keuangan klub peserta liga. Proposal pendanaan dan juga anggaran belanja harus dilampirkan saat verifikasi persyaratan. Selanjunya, harus ada tim audit yang memastikan keuangan klub dalam keadaan sehat. Jangan malu mengakui kalau memang tak ada dana meskipun hasilnya pahit. Persik Kediri setidaknya sudah memberi contoh bagus pada awal musim 2015. Klub kebanggaan warga Kediri Raya ini memilih berkompetisi di kasta kedua dengan mengandalkan pemain muda karena kesulitan mendapat sponsor.
Pada awal cerita konflik, saya mengapresiasi lagkah BOPI yang ikut turun tangan dalam mematikan semua syarat telah terpenuhi. Karena kita semua tahu, masalah penunggakan gaji musim lalu adalah karena PSSI terlalu longgar dan mungkin ada main mata dengan klub. BOPI atau Menpora tidak menginginkan hal ini terulang lagi. Tapi dasar PSSI memang pintar bermain, strategi mereka banyak dan didukung tim yang tangguh.