[caption caption="Dimas Oky Nugroho dan warga Tugu Depok"][/caption]
Calon Walikota Depok periode 2016-2021 Dimas Oky Nugroho memang bukan seorang Kyai Haji. Ia juga bukan orang Depok. Dimas hanyalah Anak muda biasa yang ingin turut andil dalam memajukan Kota Depok.
Harus diakui, keterbatasan anggaran pemenangan sempat menjadi kendala, namun tak mematahkan semangat juangnya dalam merebut hati warga Depok.
Dimas beruntung relawan pendukungnya memiliki militansi tanpa batas. Bahkan beberapa kelompok relawan di bawah komando Heri Prasetyo (pendiri Hersong Institut), rela merogoh kocek pribadi untuk pengobatan gratis, biaya persalinan, sumbangan untuk warga Depok yang sakit. Semua itu kongkrit dilakukan Hersong dkk relawan semata-mata untuk membantu warga Depok yang sedang kesulitan dan sekaligus sosialisasi Pasangan Dimas-Babai.
Gerbang Perubahan, begitu mereka menamakan markas besar relawan pendukung Dimas-Babai. Ada RepDem Depok, Relawan Pelangi, Barisan Kartini Depok, Relawan Hijau, Prima Damai, dan kelompok relawan yang disupport Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota Depok yang berasal dari partai koalisi pendukung DB. Urusan logistik percetakan alat peraga kampanye pun dibiayai secara swadaya, gotong royong. Relawan adalah aset dan kekuatan yang sangat berharga yang dimiliki pasangan nomor urut satu Dimas-Babai. Ketulusan dan militansi perjuangan mereka patut diacungi jempol. Maklum saja, hampir mayoritas warga Depok haus akan perubahan di kotanya. Mereka muak, dan jengah dengan status quo PKS. Dengan kekuasaan rezim yang hanya mementingkan kelompoknya.
Dimas memang tak menjanjikan materi atau proyek apapun kepada timses maupun pendukungya kecuali komitmen, gagasan, dan PERUBAHAN. Apalah arti uang lembar merah, puluhan bahkan ratusan juta jika nanti juga habis pula. Politik uang itu seperti uang setan dimakan iblis. Lebih dari itu, ia tak mendidik rakyat. Dan tak ada jaminannya rakyat akan mendukung. Rakyat sudah cerdas: ambil uangnya lalu bilang mendukung ke semua calon. Urusan pilihan di bilik suara, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Politik memang butuh logistik. Tapi logsitik bukan segalanya. Selama ada niat, di situ ada jalan. There is will, there is way. Kepercayaan rakyat tak bisa dibeli dengan uang lembaran biru atau merah. Ia datang dari ketulusan, kecintaan, dan kepercayaan. Seperti cinta dan kasih sayang. Ia berbeda dengan suka atau senang. Jika suka, ia melihat sesorang dari fisik, paras, kecantikan atau kekayaannya. Kalau cinta dan sayang, ia hadir dari hati paling dalam. Seperti sifat Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Rahman dan Rahim. Cinta tak dapat dipaksakan. Meski sekaya apapun, atau secantik Marlyn Monroe.
Karena itu, hanya dengan kepercayaan dari rakyatlah modal utama Dimas. Ia akan membayarnya dengan PERUBAHAN ke arah yang lebih baik. Bukan dengan 'serangan fajar', atau sekadar nasi bungkus.
Jika diberi amanah, Dimas akan berpihak kepada Rakyat dengan mengelola politik APBD yang pro Rakyat. Jika APBD diamankan sepenuhnya bagi pembangunan kota, SDM, pendidikan, kesehatan, fasilitas publik, taman kota, revitalisasi pasar tradisional, dan kesejahteraan warga Depok, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, maupun kelompok. So, pilih mana, 'disawer' dengan konsekuensi nanti jika sudah menang APBD akan bocor kemana-mana untuk balikin modal dari bohir? Atau pilih merih, tapi APBD tak lagi dihambur-hamburkankan untuk belanja operasional yang tak efektif, gaji atau tunjangan pegawai yang tak masuk akal (fiktif), belanja mobil dinas, pasang baliho dengan memajang foto tergantengnya sambil senyum pamer gigi.
Jadi sederhananya, pilihlah pemimpin yang benar-benar tulus bekerja untuk rakyat keseluruhan. Bukan mementingkan kelompoknya. Pilkada hanya medium untuk memilih pemimpin daerah, tugas sejarah kitalah warga Depok dalam menentukan nasibnya. Lebih baik atau begini-begini saja. Jalan rusak dimana-mana, perbaikan hanya tambal sulam. Begal masih menghantui. Pelayanan dan fasilitas kesehatan RSUD mengecewakan. Pendidikan mahal. Pungli dimana-mana. Sampah berserakan dan kumuh. Sungai mampet gegara berubah fungsi jadi tempat pembuangan sampah. Pembangunan tidak merata. Perekrutan PNS diskriminatif. Dan sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H