Karya: Gutamining Saida
Senin, tanggal 13 Januari 2025 menjadi hari yang tak terlupakan dalam perjalanan saya. Pagi itu, saya menghadiri undangan acara perpisahan di SMPN 1 Kedungtuban. Undangan dikirim oleh wakil kepala sekolah bagian Humas. Perasaan saya bercampur aduk yaitu ada rasa sedih, haru dan rasa syukur yang tak terbendung.
Malam sebelumnya, saya telah mempersiapkan materi yang harus saya sampaikan di hadapan siswa-siswa, bapak ibu guru, serta keluarga besarSMPN 1 Kedungtuban. Kata-kata yang saya susun dengan hati-hati menggambarkan rasa hormat, terima kasih, dan kenangan yang telah tercipta selama tujuh tahun tiga bulan berada di sekolah ini.
Namun, saat nama saya dipanggil untuk maju, langkah kaki terasa berat. Saya berdiri di depan mikrofon di tengah lapangan yang luas. Barisan depan semua siswa. Kepala sekolah, rekan guru, karyawan baris di sebelah kanan. Udara pagi yang segar seolah-olah menyerap keberanian saya. Ribuan mata memandang, menunggu ucapan yang telah saya siapkan.
Ketika saya memulai, suara saya tercekat di tenggorokan. Lidah saya kaku, seperti enggan bekerja sama. Tiba-tiba, emosi menyeruak dan air mata mulai mengalir. Saya mencoba menahan diri, tetapi sia-sia. Tanpa bisa dicegah, air mata bercucuran membasahi pipi. Kata-kata yang saya hafalkan semalam kabur entah ke mana.
Akhirnya, saya hanya mampu berkata dengan suara bergetar, "Saya minta maaf jika ada kesalahan selama ini. Dan terima kasih sebesar-besarnya atas kebersamaan yang telah kita lalui. Kalian semua adalah keluarga yang tak akan pernah saya lupakan."
Di tengah keheningan yang menyelimuti lapangan, saya memohon kepada salah satu siswa agar sebuah puisi saya dapat dibacakan. Puisi itu adalah ungkapan hati saya yang terdalam. Dengan penuh kesadaran bahwa saya tak bisa melanjutkan pidato. Â Saya sudah mempersiapkan teks puisi kepada salah satu siswa yang memiliki suara lantang dan merdu.
Saat siswa tersebut mulai membacakan puisi, suasana berubah. Setiap baitnya menggambarkan perjalanan saya bersama sekolah ini, perjuangan, kebersamaan, serta kenangan manis yang akan selalu terukir. Suara siswa itu bergetar di udara, melintasi hati setiap orang yang mendengarkan.
Saat puisi itu selesai dibacakan, suasana hening mencekam. Tidak ada suara tepuk tangan, hanya keheningan yang berbicara lebih dari kata-kata. Mungkin mereka sedang memproses setiap makna yang terkandung dalam bait-bait puisi itu, atau mungkin mereka juga terhanyut dalam emosi yang sama seperti saya.
Setelah upacara selesai, acara dilanjutkan dengan sesi foto bersama. Juru foto mengabadikan momen dengan bapak ibu guru, dan seluruh keluarga besar sekolah. Satu per satu, mereka bergantian mengucapkan salam perpisahan. Ada yang memeluk saya dengan erat, ada yang menyelipkan doa dan harapan, dan ada pula yang hanya diam dengan mata berkaca-kaca.