Saya menerima surat itu dengan perasaan lega. Namun, sebelum saya sempat berdiri, beliau menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna putih. "Bu, ini saya titip untuk buwuh mantenan. Tolong disampaikan ke yang bersangkutan, ya," ujarnya.
"Oh, baik, Pak. InsyaAllah saya sampaikan," jawabku sambil menerima amplop tersebut. Dalam hati, saya sedikit lega. Ternyata tidak ada hal serius yang membuat saya dipanggil.
Setelah selesai berbicara dengan kepala sekolah, saya kembali ke ruang guru. Amplop putih itu masih saya pegang sambil tersenyum kecil. Ternyata, sebuah amplop menarik perhatian beberapa guru perempuan di ruangan itu.
"Eh, senyum-senyum sendiri nih, " goda Bu Rini, salah satu teman dekat saya.
"Saya lihat tadi Ibu dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ada apa, Bu? Jangan-jangan ada kabar gembira?" sambung Bu Heny sambil menatap amplop di tangan saya.
Saya hanya tertawa kecil. "Wah, nggak ada apa-apa kok. Cuma dapat amplop dari Pak Kepala Sekolah," jawabku sambil mengangkat amplop itu sedikit, membuat mereka semakin penasaran.
"Amplop dari Pak Kepala Sekolah? Wah, istimewa sekali! Jangan-jangan bonus?" canda Bu Endang.
Saya tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Iya nih, saya dapat amplop dari Pak Kepala Sekolah. Jangan iri, ya!" jawabku singkat, setengah menggoda mereka.
Mendengar jawaban itu, ruang guru mendadak riuh. Bu Yulis dan Bu Suryani langsung menggoda saya dengan berbagai spekulasi kocak.
"Jangan-jangan Ibu jadi wali kelas favorit, ya? Habisnya kok dapat amplop khusus dari beliau," ucap Bu Iip sambil terkekeh.
"Tapi jangan lupa, Bu. Kalau itu bonus, traktir kami makan-makan ya," tambah Bu Heny dengan nada bercanda.