Karya: Gutamining Saida
Senin pagi di ruang guru terasa lebih sibuk dari biasanya. Jam baru menunjukkan pukul 06.40, namun suasana sudah ramai oleh para siswa yang berdatangan. Baik laki-laki maupun perempuan, mereka terlihat hilir mudik di depan ruang guru dengan berbagai ekspresi. Hari itu adalah hari pertama penilaian tengah semester mata pelajaran Bahasa Indonesia. Â Selalu ada saja siswa yang datang dengan berbagai masalah terutama terkait kartu tes yang menjadi syarat wajib untuk mengikuti PTS.
Di depan ruang guru, Bu Mulyani guru Pendidikan agama islam yang sedang lewat. Beliau tertarik untuk wawancara dengan siswa. Beliau  tampak sibuk bertanya alasan beberapa anak. Beberapa siswa yang bermasalah tampak berdiri di hadapannya, sambil memberikan alasan mengapa mereka tidak membawa kartu tes. "Bu, kartunya kecuci di rumah, saya lupa angkat dari saku," ujar salah satu siswa dengan wajah memelas.
Bu Mulyani mengangguk, mendengarkan dengan sabar meskipun ekspresi wajahnya sedikit menunjukkan kelelahan. "Ya, kecuci lagi. Ini alasan yang biasa digunakan," gumamnya pelan. Di sebelah siswa itu, seorang anak perempuan lainnya mengangkat tangan, tampak gelisah. "Saya lupa nggak bawa, Bu. Tadi buru-buru berangkat. Maaf ya, Bu," ujarnya dengan nada menyesal.
Bu Mulyani menarik napas panjang dan menatap anak itu dengan lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran dalam sorot matanya. "Kamu tahu kan, ini penilaian tengah semester? Kenapa bisa lupa bawa kartu? Coba, pikir lagi apa yang membuat kamu lupa," tanyanya sambil menatap anak satu demi satu.
Anak itu hanya menunduk, tampak bingung mencari jawaban yang tepat. "Ya, Bu. Saya tadi nggak sempat cek tas. Maaf, Bu. Saya bisa minta kartu pengganti nggak?" tanyanya dengan nada penuh harap.
Tidak jauh dari situ, ada lagi siswa yang mencoba menjelaskan situasinya. "Kartunya jatuh, Bu  waktu di jalan tadi. Saya nggak sadar," kata seorang anak laki-laki dengan wajah penuh penyesalan. Bu Mulyani mendengarkannya dengan ekspresi datar. Sudah terlalu sering alasan ini ia dengar setiap kali tes tiba.
"Kartu tes jatuh, ketinggalan, kecuci, lupa selalu ada saja alasannya," pikir Bu Mulyani. Baginya, masalah ini sudah menjadi pemandangan rutin tiap kali tes berlangsung. Namun, yang membuatnya prihatin adalah bagaimana anak-anak sekarang sepertinya kurang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang sebenarnya sederhana tapi penting. Mereka tampak menganggap remeh, seolah urusan kartu tes ini bisa diselesaikan dengan mudah karena penggantinya hanya dua ribu rupiah.
"Ya sudah, buat kartu pengganti di Bu Cicik ya. Tapi ingat, lain kali jangan lupa lagi. Kalian harus lebih bertanggung jawab," ujar Bu Mulyani tegas, meskipun tetap terselip rasa khawatir dalam nadanya. Beberapa siswa langsung bergegas menuju Bu Cicik. Mereka tampak terburu-buru, seolah ingin cepat menyelesaikan urusan ini sebelum bel tanda masuk berbunyi. Tapi Bu Mulyani tidak bisa menahan diri untuk berpikir, "Apakah mereka sungguh paham pentingnya tanggung jawab?"