Mohon tunggu...
Ali Yasin
Ali Yasin Mohon Tunggu... Penulis, Pedagang, Trainer -

[1] Manajer Marketing di PT Sapphire Travel Umroh Surabaya shappiretravel.blogspot.co.id [2] Trainer di Katadaya Communication Consulting [3] Pembelajar Al Quran [4] Pengusaha mikro (tokopagi.com) Utk silaturahim silahkan SMS ke 6018 0822 3378

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Antara Upin, Bang Jarwo dan Doraemon

13 November 2016   17:11 Diperbarui: 13 November 2016   17:22 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Televisi hampir terpasang di semua rumah di Indonesia. Di kota hampir pasti. Di pedesaan jumlahnya terus bertambah. Hanya yang terpencil dan belum terpasang listrik yang mungkin belum ada televisi. Atas nama hiburan dan informasi, orang butuh TV. Jika pada tahun 1990-an pemilik televise dipedesaan hanya segelintir orang seperti mbah lurah, pak carik, atau orang kaya lain, tapi sekarang hampir semua rumah di desa sudah terpasang TV.

Stasiun penyiaran ketika itu tunggal oleh TVRI.  Menu acara tidak banyak. Sebagai media penyampaian informasi ketika itu relative terbatas dan memang dibatasi. Dari segi jam tayang ataupun kreasi acara. Nah Jika kita sekarang bicara acara untuk anak-anak, tentu kita ingat tayangan kartun. Dulu kartun yang ditonton misal flash Gordon, rin tintin, hulk dan kartun lain dengan cerita dari luar negeri.

Sangat sedikit kreasi anak bangsa. Hanya beberapa seperti gundala putra petir. Cerita lokal sangat sedikit tetapi ada. Artinya, ditengah dominasi tayangan kartun luar, anak bangsa sudah berupaya keras untuk berkreasi. Yang memprihatinkan, seiring berjalannya waktu, pada tahun 2000-an kartun doraemon, dragon ball, Naruto mendominasi tayangan di TV-TV swasta.

Tayangan kartun jepang mendominasi. Menjelang 2008-an, kartun upin-ipin tayang. Kartun berbahasa melayu diminati karena Bahasa nya mirip Indonesia. Ceritanya juga hampir sama dengan kehidupan sehari-hari anak Indonesia. Upin-ipin cukup mendominasi sehingga tayangannya diulang-ulang.

Sekian tahun kemudian, pada tahun 2010 ke atas, tayangan kartun kreasi bangsa bermunculan. Salah satunya Bang Jarwo. Ada kemiripan antara cerita upin-ipin dengan bang jarwo. Yaitu, isi ceritnya diselipi dengan nasehat bijak orang tua, guru atau ulama. Disinilah kemenarikan kartun lokal atau setidaknya dari negeri sebelah.

Sangat berbeda dengan kartun jepang dan negara lain. Nasehat ortu, guru atau kyai relative sedikit. Nasehat bijak dalam bingkai moral dan agama tidak termaktub. Mungkin hal ini sesuai dengan setting negara produsennya. Masalahnya, anak-anak kita pada saat menonton kartun seperti halnya sedang belajar karakter. Karena itulah kartun yang tidak mendidik sangat membahayakan.

Kita sekarang punya Komisi penyiaran Indonesia. Hanya saja perannya seperti belum maksimal. Belum bisa menyortir tayangan yang tidak edukatif dalam kartun anak-anak. Di televise swasta kartun dengan cerita apa saja bisa tayang. Sementara pihak televise berharap dengan banyaknya anak yang nonton, maka akan mendulang rating dan iklan yang banyak.

Inilah kontradiksi. Kalau kita lihat pemerintah kurang filter. Saat ini tayangan kartun tetap di dominasi luar negeri. Kreasi anak bangsa kalah memikat atau mungkin kalah  canggih dengan kartun asing. Akibatnya anak-anak kita sangat memahami karakater nobita, doraemon, Naruto dan lain sebagainya dibanding adit yang taat sama orang tua, atau bang jarwo yang ceroboh tetapi masih nurut sama nasehat ustad.

Demikian pula upin dan ipin, selalu termuat tayangan dimana upin dan ipin nurut dengan nasehat cek gu (bu guru), kakek atau kakaknya. Ini edukasi mahal karena anak-anak kita sedang merekam karakter pendidikan dalam keluarga. Pengaruhnya tentu dalam kehidupan sosial. Sebab, anak2 tentu membutuh referensi positif.  

So saatnya kita melalukan evaluasi kritis. Pengaruh tayangan kartun bagi anak sangat besar. Jika dalam tayangan tidak terselip pendidikan agama dan keluarga bukan tidak mungkin anak2 kita berkehidupan seperti orang luar negeri yang bebas nilai. Karena itu sebagai orang tua kita perlu filter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun