Mohon tunggu...
Ali Yasin
Ali Yasin Mohon Tunggu... Penulis, Pedagang, Trainer -

[1] Manajer Marketing di PT Sapphire Travel Umroh Surabaya shappiretravel.blogspot.co.id [2] Trainer di Katadaya Communication Consulting [3] Pembelajar Al Quran [4] Pengusaha mikro (tokopagi.com) Utk silaturahim silahkan SMS ke 6018 0822 3378

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Debat dan Kusir, Ada Apa?

31 Oktober 2016   13:20 Diperbarui: 31 Oktober 2016   14:02 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak reformasi tahun 1998, bersamaan kebebasan berekpresi, di negeri ini debat bukan lagi barang langka. Sebelumnya, di jaman Presiden Soeharto, kebebasan dikendalikan. Anda ingat Budiman Sudjatmiko, Sri Bintang Pamungkas, Wiji Tukul dan lain sebagainya. Perbedaan pendapat tidak banyak terungkap di media. Namun, sejak reformasi acara talkshow digelar di berbagai media. On air ataupun off air. Disitulah kita melihat aksi diskusi yang banyak berujung pada debat.

Istilah Debat akhirnya populer. Bahkan di televisi sekarang ini ada acara bertajuk Debat. Tentunya acara tersebut memang berisi Debat. Dalam penamaan lain, ada acara pro dan kontra, ada suara rakyat, atau yang populer acara ILC alias indonesia lawyer Club dimana dalam beberapa tahun terakhir kita disuguhi aksi debat antar berbagai pihak. Temanya beraneka ragam. Yang jelas di acara tersebut kita bisa saksikan bagaimana sekelompok pihak memperdebatkan suatu isu.

Dalam penampakan yang lebih ekstrem kita melihat perdebatan antar pihak, mulai dari JPU, penasehat hukum, saksi ahli dan hakim dalam persidangan Jessica. Sungguh debat telah menjadi suguhan media yang populer sehingga meningkatkan rating sebuah acara. Artinya minat publik memperhatikan hal tersebut sangat tinggi. Pertanyaanya, apakah debat menjadi solusi bagi permasalahan di negeri ini?

Dale Carnegie, pakar komunikasi, menyatakan bahwa satu-satunya cara memenangkan debat adalah jangan berdebat. Hal ini menandakan bahwa debat bukan model komunikasi efektif. Lebih tegas lagi, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa salam bersabda bahwa ‘Sesungguhnya, perkara yang sangat aku takutkan atas ummat ini adalah orang munafik yang lihai bersilat lidah (HR Ahmad). Dalam hadist lain beliau bersabda , ‘Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras permusuhannya lagi lihai bersilat lidah’.” (HR Bukhari ).

Dapat disimpulkan bahwa debat yang biasanya di isi dengan adu ngotot argumentasi sebagai suatu perilaku komunikasi yang tidak baik. Ilustrasinya sebagai berikut, Seorang teman, ditanya oleh teman lainnya. Mulanya soal bisnis, berlanjut ke masalah sosial sampai politik. Saat menyinggung pilihan presiden, masing-masing terlibat debat. Gara-garanya, calon A dianggap lebih baik dari calon B. Begitu juga sebaliknya. Dialog yang semula gayeng, enak tiba-tiba menegang. Pasalnya, kedua teman saya merasa benar dengan apa yang diucap.

Sejak saat itu hubungan mulai tidak harmonis. Debat mereka berlanjut di media sosial. Di fesbuk antara kedua teman tersebut terlibat saling sindir dan menjatuhkan seraya membenar-benarkan jagoan pilhannya. Sampai even pilpres selesai, hubungan antar keduanya tidak membatik seperti sebelumnya. Inilah yang disebut debat adalah fase dialog yang tak menguntungkan dari segi sosial.

Pasalnya, debat akan menjebak orang untuk bertahan dengan argumentasinya. Yang ada adalah tak ingin kalah dalam debat. Merasa benar pada diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Kalah debat dianggap kalah eksistensi. Dan inilah titik yagn membahayakan di ranah sosial kita. Sekarang anda lihat. Di televisi, di radio, bahkan di warkop dan tempat ibadah, sekarang org mudah berdebat. Di jalan, di pasar, tempat pelayanan umum juga orang mudah berdebat. Entah apa isunya, yang pasti lidah terasa gatal kalau tidak ikut merespon meski akhirnya berujung debat.

Situasi sosial kita kian kritis. Debat telah mewabah sehingga isi media sosial tidak positif. Kalimat pengamat dan para ahli juga saling menjatuhkan. Agamawan di beberapa tempat tidak ikut menyejukan. Bahkan budayawan juga banyak yang memperdebatkan sesuatu yang bukan esensi. Entahlah. Bagaimana bisa debat menjadi model komunikasi yang populer. Padahal, kita kenal istilah Debat Kusir. Entah darimana dulu asal istilah ini, yang pasti Debat kusir untuk menggambarkan perbedaan sudut pandang antara dua/berbagai pihak yang termanifestasi dalam adu mulut dan adu argumentasi.

Ujungnya tidak ada titik temu.Itulah yang disebut debat kusir. Padahal kusir sendiri merupakan kata sifat bagi pekerjaan orang yang mengendarai delman yang ditarik kuda atau yang biasa dipanggil pak Kusir. Lantas apa hubungannya Kusir dengan Debat? tanya saja pa mereka yang suka debat. Mungkin juga yang suka debat apa keuntungannya debat? apa rahanngnya ikut kuat gara-gara suka debat?

Saya punya pendapat, debat bukan komunikasi efektif. So, kurangi , hindari dan jauhi debat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun