Saya sering menginterview sarjana baru dari berbagai perguruan tinggi. Mereka masih segar dan belum punya pengalaman kerja. Jika belum punya pengalaman maka fokus pertanyaan akan lebih ke arah kepribadian, sikap mental, dan kepada subjek yang dipelajarinya. Tidak sedikit yang melamar memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) yang mengesankan seperti misal di atas 3.00 dari skala 4.00. Namun ketika materi pertanyaan mulai masuk ke subjek yang menjadi gelar kesarjanaan yang disandangnya maka saya kerap kali terheran-heran dengan minimnya pemahaman dari calon karyawan dengan gelar sarjana ini. Dimanakah pertanggungjawaban dari kesarjanaan yang disandangnya tersebut?
Setiap kali melakukan interview dengan sarjana-sarjana baru tersebut saya akan selalu terbawa ke tahun 1986 ketika saya baru lulus SLTA di kota asal saya, selisih 2 hari saya berangkat ke Jakarta dengan tekad memasuki perguruan tinggi negeri ternama di ibukota. Sayangnya kesempatan tersebut tidak berhasil saya manfaatkan. Jadilah saya menjadi lulusan SLTA yang tidak memiliki pekerjaan. Kuliah tidak kerja pun tidak.
Saya membutuhkan waktu 2 tahun untuk mendapatkan pekerjaan di bidang yang pada akhirnya saya tekuni hingga sekarang. Belum genap bekerja satu tahun hasrat untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana pun muncul lagi. Saya sadar betul bahwa menyandang predikat sebagai lulusan SLTA saja bisa menjadi batu sandungan di kemudian hari. Berkat ijin dan dan dukungan dari pemimpin di perusahaan tempat saya bekerja saya berhasil memasuki perguruan tinggi swasta yang cukup ternama di bilangan Jakarta Barat.
Hari-hari sibuk mengurusi pekerjaan di perusahaan yang sedang tumbuh ditambah kuliah yang menanti sejak pukul 16.00 petang pun membuat irama hidup saya bergerak semakin kencang. Waktu pun bergerak semakin cepat. Hari demi hari berlalu tanpa terasa. Saat-saat ujian bisa menambah tekanan karena tidak ada waktu tersisa, energi pun sudah habis. Yang ada adalah semangat untuk menghadapi ujian demi ujian.
Semakin saya menjalani semakin saya tahu bahwa ada hal-hal yang saya miliki yang tidak dimiliki oleh teman-teman sekelas saya yang tidak bekerja yaitu "pengalaman nyata" yang diperoleh di dunia kerja. Teori demi teori yang dijelontorkan oleh dosen tidak begitu melekat di kepala mereka yang belum bekerja. Teori tinggal teori tanpa rasa di manakah relevansinya dengan dunia kerja. Berbeda sekali dengan yang saya rasakan. Pertanyaan-pertanyaan di kala ujian bukanlah hal yang sama sekali baru. Berbeda dengan ujian di bangku SLTA, ujian di perguruan tinggi rata-rata berbentuk esai di mana mahasiswa harus menuliskan pokok-pokok pikirannya pada kertas jawaban. Tanpa pengalaman nyata beberapa mahasiswa mengalami kesulitan menjawab secara komprehensif. Sedangkan mereka yang telah terjun ke dunia kerja jauh lebih mudah memberikan jawaban yang memuaskan para dosen yang juga memiliki pengalaman dan sebagian di antaranya juga praktisi selain menjadi dosen. Sehingga bisa dikatakan sebagian besar subjek yang diujikan saya nyaris tidak perlu belajar secara khusus namun tetap bisa memperoleh hasil yang memuaskan. Barangkali tidak menjadi yang terbaik namun itu sudah cukup jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki profesi hanya sebagai mahasiswa.
Yang berikutnya adalah saat setelah mahasiswa lulus. Mereka akan lulus sebagai sarjana baru tanpa pengalaman kerja sama sekali. Jika mereka cukup aktif barangkali aktivitas dalam dunia kampus bisa memberi nilai tambah namun tidak cukup untuk bersaing dengan sarjana baru dengan pengalaman bekerja selama masa kuliahnya. Mereka yang lulus sebagai sarjana baru dengan pengalaman kerja memiliki satu hal yang tidak bisa dibeli yaitu pengalaman.
Singkat cerita, memang bekerja sambil kuliah bukan pengalaman yang sepenuhnya menyenangkan namun manfaat yang diperoleh jauh lebih besar sehingga saya amat menyarankan kepada mahasiswa-mahasiswa untuk mulai bekerja selagi kuliah karena hal itu akan memperkaya Anda. Karena pada akhirnya bukan nilai semata yang menentukan keberhasilan Anda mendapatkan pekerjaan yang Anda idamkan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H