Semakin sedikit masyarakat (atau kata bombastisnya adalah rakyat) yang bisa dibodoh-bodohi. Sejarah budaya politik masyarakat bangsa Indonesia sangat kental dengan budaya primordial yang terkotak-kotak (yaitu loyalitas berlebihan yang mengutamakan atau menonjolkan kepentingan suatu kelompok agama, ras, daerah, atau keluarga tertentu) karena latar belakang bangsa ini terbentuk berasal dari kerajaan-kerajaan bersatu. Kemudian budaya politik tradisional juga ditandai oleh hubungan yang bersifat patron-klien, seperti hubungan antara tuan dan pelayannya, atau manut pada pembesar/pemimpin, tokoh dan ulama yang berada diatasnya.
Dalam sejarah perjalanan politik bangsa, Soeharto yang telah memimpin negeri ini selama lebih dari tiga dekade menanamkan paham kekuasaan Jawa yang cukup mendominasi dalam sistem pemerintahan yang dipimpinnya. Kebijakan tersebut memperlihatkan jumlah etnis dari masyarakat Jawa yang cukup mendominasi pusat-pusat kekuasaan penting seperti kekuasaan yang ada dalam tubuh ABRI (TNI). Budaya politik Islam adalah budaya politik yang lebih mendasarkan idenya pada satu keyakinan dan nilai agama tertentu, dalam hal ini tentu saja agama Islam. Agama Islam di Indonesia menjadi agama mayoritas dan Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Islam menjadi salah satu budaya politik yang cukup mewarnai kebudayaan politik di Indonesia. Orientasi budaya politik yang mendasarkan pada nilai agama Islam mulai tampak sejak para pendiri bangsa membangun negeri ini. Budaya politik modern adalah budaya politik yang mencoba meninggalkan karakter etnis tertentu atau berdasarkan pada agama tertentu. Pada masa pemerintahan di era reformasi seperti sekarang ini (dimana kekuasaan/Dwifungsi ABRI tumbang dan Civil Society menguat), dikembangkan budaya politik modern yang dimaksudkan untuk tidak mengedepankan budaya etnis atau agama tertentu. Pada masa pemerintahan ini ada dua tujuan yang ingin dicapai, yakni stabilitas keamanan dan kemajuan untuk perbaikan disegala bidang kehidupan.
Penghidupan dan Politik di dunia/mancanegara bergerak begitupun di Indonesia. Kini semakin sedikit rakyat yang bisa dibodoh-bodohi, karena teknologi informasi dan kebebasan yang membuat rakyat sudah tidak bodoh atau sebagian besar rakyat di kota-kota besar saat ini sudah 'melek' politik. Hanya masyarakat kelompok-kelompok tradisional, dan masyarakat di desa-desa terpencil/awam yang saat ini bisa digerakkan dan ditanamkan fanatisme oleh orang yang memiliki kepentingan / kekuasaaan / modal material (pemilik modal) / modal spiritual (ulama/pendeta/pemimpin umat beragama) sehingga bisa mengklaim dirinya sebagai seorang pemimpin karena memiliki pengikut/fans (penggalangan massa cara tradisional). Fanatisme adalah penanaman doktrin, sehingga menjadi patron dikepala para pengikut/pendukung. Cara-cara seperti itu adalah cara-cara eksklusive atau terbatas, dan untuk meluaskannya maka dipakai cara-cara kotor dengan memfitnah dan ghibah calon/lawan politiknya dengan memanfaatkan teknologi informasi dan iklim kebebasan.
Saat ini banyak sekali postingan2/broadcast/viral yang sebagian besar berisi gosip, fitnah, ghibah/hujatan yang menjelekkan individu maupun pemerintah baik yang tembak langsung maupun tidak langsung (tersirat/pemaknaan), ini bukti kebebasan (Jaman Soeharto mana ada kebebasan berpendapat pribadi, kelompok maupun media). Banyaknya postingan dari media non mainstream (yang tak memiliki SIUP sehingga tidak dapat dituntut ke pengadilan secara badan usaha) yang berisi postingan ujaran kebencian, fitnah (hoax) dan ghibah yang merebak ibarat jamur dimusim hujan.
Berita/postingan yang berisi mengenai kondisi masa depan bangsa yang suram dan akan dicaplok oleh negara RRC/China (sekarang dikenal dengan negara Tongkok) adalah berita Fitnah/Hoax karena prediksi/berandai-andai bahwa masa depan bangsa ini akan suram dan terjajah merupakan penggiringan opini yang sangat mengganggu. Patut dicatat sebagai fakta bahwa pertama kali dalam sejarah bahwa Pemimpin Bangsa era saat ini ‘Berani’ Konfrontasi dengan negara Tiongkok, dan menantang arogansi tiongkok di wilayah ‘sengketa’ antar negara (Filipina/USA, Vietnam...) yaitu ‘Laut China Selatan” (Dengan Simbol menggelar Ratas Kabinet di KRI Imam Bonjol, yang sedang patroli di wilayah tersebut/pulau Natuna).
Ratas Kabinet Di KRI Imam Bonjol yang sedang berpatroli di TKP dimana kapal nelayan tiongkok yang ‘mencuri’ ikan di wilayah laut (yang kita klaim sebagai Zona Laut Ekonomi Eksklusif wilayah RI) berhasil ditangkap oleh TNI AL yang sekaligus mengusir patroli penjaga pantai republik tiongkok yang mengawal kapal nelayan pencuri tsb. Ini bukti bahwa pemerintah Indonesia saat ini memperlihatkan kedaulatan wilayahnya secara nyata terhadap tiongkok. Jadi kalo ada pernyataan kita akan kehilangan tanah air itu adalah prediksi yang berlebihan/fitnah dan penggiringan opini menyesatkan.
Justru Issue / pernyataan tersebut adalah upaya mendorong terjadinya bubarnya RI sehingga kita kehilangan tanah air di negara sendiri, karena itu bisa memanaskan situasi sehingga kita bentrok dan berperang antara sesama bangsa Indonesia. Lihat runtuhnya Uni Sovyet, cekoslovakia (negara balkan), Irak, suriah...serta mesir yang nyaris bubar (walopun tetap bertahan namun akibat perang saudara tsb peradabannya telah hancur, krn upaya membentuk negara syariat Islam oleh ikhwanul muslimin malah berantakan dan memecah belah bangsanya) bagaimana terjadi peperangan berdarah antara mereka sehingga negaranya hancur lebur, masih ingat peperangan bosnia-serbia dan sebagainya, hati2 dengan pernyataan kompor/provokator guna membenturkan/mengadu domba antara bangsa sendiri (warga negara indonesia).
Mengenai berita postingan yang tersebar di medsos dan dikirim/disebarkan oleh Ustadz/ulama (tertulis seperti itu...apakah benar atau fitnah?!?...), terkait pencabutan/pembatalan Perda Syariah juga tidak benar!, ± 3000 Perda yang dicabut adalah terkait Perda-perda yang menghambat ekonomi dan investasi yang menghambat petumbuhan nasional. Yaitu Perda-Perda yang dibuat oleh raja-raja kecil (bupati/walikota) yang tidak berdampak nasional alias hanya memperkaya kroni-kroninya saja (mengambil keuntungan dengan mengeluarkan Perda agar memiliki dasar hukum guna pengamanan). Ini bukti kerja dan keberanian serta kecerdasan pemerintah saat ini guna menarik kembali kewenangan ke pusat karena Otonomi daerah yang ‘kebablasan’ bukan mensejahterkan masyrakat pedesaan, namun malah menjadi pemanfaatan jabatan/kekuasaan untuk kekayaan pribadi dan kroni serta politik dinasti yang menghambat kesejahteraan yang adil dan beradab.
Dalam sudut pandang positif, Berita/postingan yang berisi fitnah (hoax/kebohongan), ataupun ghibah (hujatan/ejekan) tersebut sesungguhnya justru akan memperkuat pemerintah, karena keresahan tertulis yang beredar di medsos dan menjadi isu nasional yang disuarakan oleh kelompok masyarakat tertentu tersebut dapat menjadi check & balance, sehingga soal-soal tersebut dapat dijawab dengan bukti dan lugas oleh pemerintah.
Untungnya juga pemerintah yang sedang memimpin bangsa saat ini bukanlah pemerintah yang ‘baper’ sehingga tidak menghabiskan energi hanya pusing/galau untuk menjawab dengan pencitraan belaka. Pemerintah saat ini lebih sensitif dan tau apa yang harus dibenahi untuk meningkatkan kesejahteraan di masa YAD (dengan membangun secara massive infrastruktur, dan merestorasi mental budaya serta politik kenegaraan), walaupun saat ini terkena ‘getah’ hujatan dan ada resiko (setiap peningkatan/perubahan pasti ada resiko diawal namun buahnya akan dapat dinikmati nanti...).