Ketidakadilan, kemiskinan, perpecahan maupun kekerasan bahkan penghancuran dalam lingkungan sosial manusia telah menjadi realitas yang sering terjadi pada zaman sekarang. Keadaan yang demikian membuat manusia cenderung menjadi lebih individualis, egois, dan acuh tak acuh terhadap sesamanya.
Manusia lebih memilih untuk mengutamakan kepentingan pribadi dari pada kepentingan bersama yang universal. Padahal, seorang manusia sejatinya adalah mahkluk sosial (homo socialis) yang hidup bersama dan berdampingan dengan yang lainnya. Homo socialis pada dasarnya tidak mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya (sandang, pangan, dan papan). Hal ini disebabkan juga karena manusia sejak lahir sampai mati selalu hidup dalam masyarakat, dan tidak mungkin hidup dan bertumbuh di luar masyarakat.
Dalam prosesnya manusia tidak dapat terlepas dari relasi dan komunikasi aktif dengan manusia lain. Relasi dan komunikasi ini dapat tercapai apabila manusia mampu hadir dan berdialog dengan manusia lainnya face to face (tatap muka). Oleh karenanya manusia yang adalah mahkluk sosial itu perlu memahami dan menghidupi keutamaan sosial sebagai dasar hidupnya. Keutamaan yang dapat mengarahkan manusia pada keadilan, kesejahteraan, dan keutuhan serta kebenaran yang universal. Salah satu keutamaan sosial dan dasar hidup manusia adalah dialog, yang dalam pandangan Sokrates disebut dialektika.
Pembahasan tentang dialog (dialektika) dibatasi pada paham dan proses berfilsafat menurut Sokrates. Namun sebelum itu, sebaiknya kita menelusuri sedikit latar belakang dan sejarah munculnya paham Sokrates tentang dialektika. Tahun 470 sM, Sokrates lahir di kota Athena, pada waktu pusat kebudayaan Yunani mencapai masa keemasan. Ayahnya adalah seorang pemahat patung batu (Stone Mason) bernama Sophroniskos dan ibunya adalah seorang bidan bernama Phainarete.
Zaman itu merupakan puncak kejayaan perkembangan kultural, sosial, dan politik bangsa Yunani. Filsafat Sokrates lahir sebagai kritik terhadap kaum sofis yang mengandalkan retorika-persuasi (ilmu berpidato untuk menjatuhkan lawan), menganut skeptisisme (sikap meragu-ragukan sesuatu), dan menganut relativisme moral (setiap orang mempunyai kebenaran masing-masing, tidak ada kebenaran yang universal).
Sokrates sebagai seorang filsuf (orang yang mencintai kebijaksaan) berkeyakinan bahwa pikiran manusia dapat mencapai kebenaran yang universal, asalkan mempunyai landasan yang kuat bagi pengetahuan. Landasan tersebut adalah pyskhe (jiwa), karena konsep jiwa dan aktivitasnya memungkinkan manusia untuk mencapai pengetahuan yang dapat diandalkan sebagai dasar moralitas. Sokrates mampu menjelaskan bagaimana jiwa dapat mencapai pengetahuan tersebut dengan menggunakan metode yang tepat. Metode yang digunakannya adalah dialektika (dialog kritis). Menurutnya cara yang paling pasti untuk mencapai suatu pengetahuan yang dapat dipercaya dan diterima oleh semua orang ialah melalui praksis percakapan (dialog).
Dialektika selalu dimulai dengan sebuah masalah yang sedang terjadi dalam masyarakat atau antarmanusia. Dialektika pada dasarnya mau menghantar dan menuntun manusia pada suatu pemahaman yang pasti dan universal. Oleh karenanya melalui dialog (percakapan), setiap partisipan dibantu untuk menjelaskan ide-idenya, dan bergerak menuju hasil akhir berupa definisi. Dengan metode dialektika yang ditawarkan oleh Sokrates, manusia dapat menuju pada kebenaran universal, pengetahuan sejati, dan kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Metode tersebut mampu melibatkan banyak orang, baik itu orang yang berada pada level atas (pemerintahan) sampai pada mereka yang berada di level bawah (masyarakat). Dialektika mampu menjadi sarana untuk membangun hidup bersama dan dapat mempersatukan berbagai pihak. Karena dengan berdialog (berdialek), manusia diajak untuk berbicara, bercakap-cakap, bertukar pikiran dan membangun gagasan bersama.
Dialog bukanlah transaksi tawar-menawar tentang sesuatu untuk mencapai kesepakatan. Dialog juga bukan konfrontasi di mana pihak yang satu mempersoalkan sesuatu dan pihak lain memberi pertanggungjawaban.
Dialog juga bukan suatu adu pendapat untuk mencari keunggulan pendapat sendiri dan mengalahkan pendapat lain. Dialog adalah percakapan dengan maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dalam dialektika tidak ada monopoli pembicaraan dan kebenaran. Yang ada adalah berbagi dan bertukar informasi dan gagasan.
Dari dialog yang ada, diharapkan terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang hal yang menjadi bahan dialog atau masalah yang hendak diselesaikan. Itulah esensi dan substansi manusia sebagai homo socialis, yang harus terbuka, tidak individualis, tidak egois dan tidak acuh terhadap sesamanya. Manusia yang selalu siap berdialog demi mencapai suatu definisi atau kesimpulan yang dapat diterima oleh semua pihak. Manusia yang siap untuk membantu dan mengarahkan sesamanya pada pengetahuan yang baru dan universal. Manusia yang mampu menejawatahkan salah satu keutamaan sosial ini dalam hidup sehari-hari. Apabila hal tersebut dilakukan oleh semua manusia, niscaya ketidakadilan, kemiskinan, perpecahan, kekerasan maupun penghancuran tidak akan terjadi dalam lingkungan manusia. Dengan demikian manusia dapat memelihara dan menjaga tatanan hidup dengan baik.