Identitas sebagai ibukota negara Indonesia yang menjadikan bahwa kota Jakarta merupakan kota yang ramai akan dunia perbisnisan & perekonomian, menjadi peluang bagi masyarakat untuk mengais rezeki di kota ini. Namun apa daya, pertumbuhan ekonomi tidak sebanding lurus dengan pertumbuhan & pertambahan penduduknya. Dengan banyaknya penduduk dengan segala keperluannya, membuat angkutan umum menjadi sarana transportasi publik yang bisa diandalkan, semacam bus kota.
Dengan tarif yang relatif murah atau dapat dikatakan "jauh dekat sama saja" bisa menjadi faktor utama mengapa bus kota tetap eksis & dipilih oleh masyarakat. Hanya saja, semenjak kemunculan bus rapid transit/BRT Trans Jakarta sebagian masyarakat ibukota mulai beralih pada transportasi massal ini. Bus bagus ber-AC yang hanya menaikkan & menurunkan penumpang di halte-halte khusus ini jelas mampu mengalahkan bus-bus kota yang usianya sudah tua.
Sebagian besar bus kota sebenarnya sudah dapat dikatakan tidak layak jalan. Karena kondisi bodi bus yang sudah mulai keropos & tercorat-coret, besi yang berkarat, kaca pecah/berisik, bahkan hingga piranti kemudi yang tidak layak. Nama bus kota pun sempat tercoreng karena identik dengan ugal-ugalan, berebut penumpang, dll. Namun bus kota tersebut tetap bertahan walaupun dalam kondisi tua.
Tidak mudah bagi bus kota yang sudah tua mundur begitu saja di tengah era modern. Masih banyak orang yang menggantungkan hidup darinya. Tidak peduli biaya operasional tak tertutup, sekedar mengobati si "raga tua" agar tetap mampu berjalan di bawah terik mentari & kerasnya kehidupan kota metropolitan demi anak dan istri dirumah.
Picture From : Facebook Sinatria Nur Muhammad's
Picture From : Facebook Aril Sany's
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H