"Zarr, ayah berangkat ke pabrik dulu, ya. Kalau mau makan, ada roti panggang di meja."Â
Aku mengintip dari celah jendela kamar. Dengan mataku, aku dapat melihat ayah yang meletakkan sebuah catatan kecil di atas meja. Aku menghela nafas, tidak tertarik. Isinya mungkin "selamat menikmati harimu, ayah pulang nanti sore," atau "jaga diri baik-baik ya, ayah khawatir kamu kamu sakit." Aku sudah hafal polanya
Terakhir, kulihat ayah mengecek jam arlojinya dan segera keluar rumah menggunakan sepeda roda dua yang sudah tua. Aku menutup buku yang telah kubaca. Nah, sekarang, aku benar-benar sudah sendirian di rumah.
Aku turun ke bawah dengan senyum sumringah di wajahku. Ini adalah momen yang selalu kutunggu-tunggu. Ayah biasanya melarangku keluar rumah tanpa ijinnya. Tapi, mana bisa kutahan? Bertahun-tahun merasa seperti di karantina, keinginanku untuk melanggar perintah sudah bulat.
Krieeeeet
Aku membuka pintu yang sudah berkarat. Tepat setelah itu, cahaya natahari merembes masuk dan mengenai tubuhku. Hangat. Aku melangkahkan kakiku keluar rumah, tanpa sepasang alas kaki. Ya, ayahku memang pernah membelikanku sebuah sandal---yang sekarang sudah kekecilan. Tapi semenjak usiaku menginjak 12 tahun, ayah tidak pernah lagi membelikanku sandal, sepatu, atau sejenisnya. Hanya kaos kaki.
Kakiku menginjak-injak rumput segar, berlari menuju hutan kecil yang berada dekat dengan rumahku. Ayahku bukanlah seorang ksatria atau penyihir hebat seperti yang ada di buku-buku. Dan jika ingin pergi ke pabrik, ayah selalu melewati hutan ini, jadi seharusnya hutan ini aman.Â
Pohon-pohon berjejer rapi dihiasi bunga-bunga. Daun-daun kering berguguran meninggalkan teman-temannya. Selama sebulan semenjak aku melanggar perintah ayah, aku tidak pernah tidak kagum dengan pemandangan ini. Lebih menakjubkan daripada gambar yang ada di buku-buku.Â
Nah, di tengah hutan ini, ada sebuah kursi tunggal. Entah dibawa oleh siapa, entah pernah dipakai duduk oleh siapa, aku tidak peduli. Biasanya, aku selalu duduk di sini, diam merenungkan hal-hal yang mustahi.Â
Di dunia ini, strata sosial dibagi menjadi 5. Mari kita mulai dari trofik 5---strata paling tinggi. Kaisar, bangsawan, pejabat, rakyat jelata, dan terakhir, budak dan tawanan. Kalian seharusnya sudah bisa menebak bahwa keluargaku hanyalah seorang rakyat jelata. Dianggap tidak berpendidikan, kesulitan ekonomi, namun masih lebih baik daripada budak.
Saat itulah. Saat aku tengah sibuk dengan dunia khayalanku, telingaku menangkap sebuah suara. Tidak terlalu keras, memang. Tapi itu berhasil membuat pikiranku terbuyarkan. Itu bukanlah suara semak-semak, ranting yang jatuh, ataupun suara hewan buas. Itu adalah suara seorang manusia!