Ponorogo- Bertepatan dengan hari pendidikan nasional tahun 2019, STKIP PGRI Ponorogo menyelenggarakan diskusi laras pendidikan, refleksi dan peringatan pendidikan nasional 2019. Diskusi yang dipusatkan di Graha Saraswati itu dihadiri 300 peserta dari berbagai kalangan. Turut hadir pula guru MGPM Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, Sejarah, serta PGPUD se-kabupaten ponorogo (Kamis, 2 Mei 2019).
Diskusi budaya yang bertema mengeja kembali lokalitas pendidikan Indonesia sebagai wujud pemahaman literasi budaya. Menghadirkan Rendra Agusta Founder Sraddha institute dan editor jurnal Sastra dan Budaya (Mistra Bestari) Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemdikbud. Lelaki asal Sragen itu mengangkat tema tentang Tranformasi Serat Kencil, Potret Pendidikan Seni di Perguruan Taman Siswa.
Ia menuturkan bahwa perguruan Taman Siswa Yogyakarta saat itu yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara menggunakan cerita kancil sebagai metode pengajaran budi pekerti. Beliau menyayangkan kisah kancil yang berkembang hanya sebatas mencuri timun dan diidentikan perilaku tidak terpuji. "Banyak yang terpenggal dari runtuntan kisah kancil ini," ujarnya.
Kisah yang berkembang kisaran abad 19 di Jawa ini menurut Rendra Agusta sangat digemari dan dicintai oleh masyarakat. Hal ini, dibuktikan lahirnya beberapa buku yang dicetak secara berulang. Menariknya terdapat siklus cerita tentang riwayat hidup si kancil tersebut. "Ini yang menarik dan banyak yang tidak diketahui oleh masyarakat kita," tambahnya.
Dalam diskusi santainya, lelaki yang pernah menempuh pendidikan di Australia itu mengungkapkan Serat Kancil Amongsastra sebagai salah satu Serat Kancil tertua. Serat yang ditulis oleh Rangga Amongsastra sebagai penulis kadipaten dalam pemerintahan PB V Surakarta, ditulis sekitar tahun 1822.
Kisah kancil yang begitu fenomenal hingga saat ini membutuhkan kesadaran untuk mempelajari secara lebih mendalam. Selain itu, perlu pengajaran karakter selaras yang dilakukan Ki Hadjar Dwantara di Taman Siswa dengan Serat Kancil. Mas Rendra panggilan akrabnya mengajak para guru mempelajari dan mengambil sisi positif serat tersebut sebagai pembelajaran budi pekerti di sekolah. Mengingat di Indonesia saat ini sedang dilanda krisis moral yang semakin mengkhawatirkan.
Lelaki pendiri Sekolah Literasi Gratis (SLG) itu berharap seluruh elemen aktif dalam mengembangkan dan pananaman literasi budaya terlebih di era digitalisasi. "Sekolah harus literatif, masyarakat literatif, dan keluarga yang literatif," ujarnya. Beliau berharap melalui ketiga eleman yang literatif tersebut akan mampu melahirkan generasi-generasi yang cinta budaya dan cinta literasi. Â
Dwi Supriono S.Pd salah satu perwakilan MPMG Bahasa Inggris juga alumni STKIP PGRI Ponorogo mengaku senang dengan diadakan diskusi budaya terlebih bertepatan dengan hari pendidikan nasional.
"Cerita lokal yang berkembang di masyaratat dapat digabungkan dengan materi Bahasa Inggris," ujarnya ketika ditemui tim jurnalis STKIP PGRI Ponorogo. Red/ags Humas STKIP PGRI Ponorogo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H