Mohon tunggu...
Dewi Rusmana
Dewi Rusmana Mohon Tunggu... -

better man

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Selayang Pandang Nikah Sirri dan Kriminalisasinya

19 Februari 2010   09:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:50 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_77533" align="alignleft" width="199" caption="Ilustrasi/by Admin (Shutterstock)"][/caption] Saat ini sedang hangat-hangatnya pembahasan tentang perlunya sanksi pidana bagi pelaku nikah siri di Indonesia. Rancangan Undang - Undang yang mengatur tentang nikah siri juga telah sampai di kantor SetNeg dan siap dibahas oleh pemerintah untuk kemudian diajukan ke DPR RI. Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, menjelaskan bahwa RUU ini akan memperketat aturan tentang pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami. Seperti yang sedang ramai diberitakan oleh berbagai media, RUU yang baru sampai di meja Setneg menyatakan bahwa pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. Ketentuan baru yang akan dituangkan dalam RUU ini didasarkan pada berbagai alasan bahwa nikah siri, kawin kontrak dan poligami sering merugikan pihak wanita dan anak. Dikatakan bahwa apabila pasangan yang telah melakukan nikah siri bercerai maka pihak wanita dan anak2 tidak bisa mendapatkan hak waris atau jaminan penghidupan dari bekas suaminya. Selain itu juga dikatakan bahwa pihak suami sering dengan mudahnya menyatakan talak atau cerai kepada istri dikarenakan tidak adanya perjanjian hitam diatas putih atau buku nikah. Inilah sebagian pendapat kalangan yang mendukung RUU diatas : "Tetapi sampai sekarang nikah siri sering dijadikan alasan bagi orang-orang yang ingin melegalkan seksualitas. Mereka menganggap dengan menikah siri dapat menghindari zina padahal justru pihak wanita yang menjadi korban. Bila pihak suami ingin bercerai tinggal melakukan talak, dan istri tidak dapat menuntut apapun karena tidak ada hitam di atas putih yang berlaku di pengadilan agama. Bagi pasangan yang suka kawin-cerai, nikah siri tentunya sangat diminati karena pada hakekatnya syarat syahnya sebuah pernikahan itu mudah. Rukun dan syarat nikah yaitu : ada calon suami dan calon istri; ada wali; ada dua saksi yang adil; Ijab dan qobul. Menikah memang mudah tetapi tanggung jawab untuk membina rumah tangga itu yang perlu dimatangkan kembali. Begitu jauh pergeseran moral yang ada saat ini. Mau dibawa kemana moral bangsa Timur kita" Sebelum kita ikut memberikan wacana ada baiknya kita lebih mengenal tentang Nikah Siri tentunya dengan maksud agar kita selalu obyektif dalam memahami suatu persoalan. Lalu, apa sebenarnya definisi Nikah Siri menurut Islam? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan/dihukum? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan? Pernikahan siri yang berlangsung dimasyarakat sering didefinisikan dengan arti pernikahan yang dilakukan secara diam - diam merujuk arti kata sirri...padahal pada kenyataannya terdapat tiga (3) bentuk pernikahan siri yang terjadi beserta alasan-alasannya. Pertama : Pernikahan yang berlangsung tanpa adanya wali. Pernikahan seperti ini biasanya dilangsungkan secara rahasia (siri) dan tanpa adanya wali pernikahan dikarenakan wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali dan atau hanya ingin melampiaskan nafsu belaka dengan mengesampingkan aturan secara syariat. Kedua : Pernikahan sah secara hukum syariat agama namun tidak tercatat/dicatatkan dalam administrasi negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga : pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. Hukum Syariat Islam Tentang Nikah Siri : A. Hukum Pernikahan Tanpa Wali Pernikahan tanpa wali jelas sekali DILARANG dalam Syariat Islam. “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” (HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy) Diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda: “Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. (HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy) Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy) Berdasarkan hadist-hadist diatas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah bathil adanya. Dalam artian bahwa pelaku nikah tanpa wali telah melakukan maksiat terhadap Allah. Apa Sanksinya?? syariat menggolongkan permasalahan ini sebagai permasalahan yang boleh diputuskan oleh seorang hakim syariat. Keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali. B. Pernikahan tanpa dicatatkan dalam Pencatatan Sipil atau Administrasi Negara. Ada dua aspek yang perlu dikaji yakni (1) hukum pernikahannya dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga administrasi negara. Apabila pernikahan telah dilakukan berdasarkan hukum syariat dan memenuhi segala rukun pernikahan yang sah maka pernikahan tersebut adalah sah dan tidak diperbolehkan pasangan yang telah sah menikah diberikan sanksi oleh hakim syariat. Rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut : (1) wali (2) dua orang saksi (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil. Permasalahan pencatatan pada administrasi negara ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pada dasarnya tujuan dari pencatatan pernikahan pada administrasi negara adalah agar memperoleh bukti tertulis sehingga ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti di hadapan peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang muncul akibat pernikahan, seperti hukum waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah/harta, dan lain sebagainya. Persoalannya adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti yang sah menurut syariat. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti secara syariat. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah dan hubungan-hubungan lain yang muncul dari adanya pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut adalah sah dan harus diakui sebagai alat bukti syariat. Pemerinatah atau pengadilan tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut. Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belum sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syariat bukan hanya dokumen tertulis. Dalam hal pengaturan urusan pernikahan, Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan. Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syariat absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka. Jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara. Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi sangat dianjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda : “Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.(HR. Imam Bukhari dan Muslim) Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum. Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah. Kesimpulan : Seharusnya pemerintah mempelajari dulu secara detail permasalahan tentang nikah siri dan tidak hanya berdasarkan pada kejadian-kejadian pada pihak-pihak tertentu saja agar permasalahan ini dapat dikaji secara benar dan obyektif. Hal ini dimaksudkan agar hukum syariat tidak berbenturan dengan hukum negara yang pada kenyataannya hukum syariat lebih sering dikesampingkan dengan dalih demokrasi dan pluralisme. Diolah dari berbagai sumber khususnya penjelasan dari Ustadz Syamsuddin Ramadhan An Nawiy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun