Jika saya (seorang suami) ditanya demikian, maka jawaban saya jelas: "INI SOAL NYAMAN-dan-TAK NYAMAN."
Mungkin karena saya bukan type perlente yang terbiasa dandan mentereng. Bagi saya pribadi, dandanan necis itu sesungguhnya siksaan fisik (tidak nyaman di badan) dan siksaan psikis. Keluar rumah dengan dandanan seperti itu adalah keterpaksaan—‘not the way I am.’
Saya terpaksa menyiksa diri, dengan berdandan necis, untuk memenuhi tuntutan norma etika sosial yang berlaku umum. Norma etika yang belakangan ini saya rasakan kian dipenuhi oleh kepalsuan, pencitraan luar—untuk deal bisnis, hubungan sosial yang akhirnya juga berujung pada ‘personal branding’ dan ‘business networking’—SEMATA.
Itu sebabnya, mengapa saya tak pernah merasa perlu untuk komplain ketika istri saya berdandan necis saat keluar rumah. Saya tahu, betapa tersiksanya  dia pada saat harus tampil dengan pakaian ribet, bersepatu hak tinggi yang pasti juga menyiksa betisnya, dan berbulu mata pasangan yang pasti juga menyiksa matanya.
Saya tidak pernah merasa disepelekan ketika istri di rumah menggunakan pakaian seadanya, entah daster, atau celana pendek, pokoknya yang nyaman untuk dirinya. Justru saya merasa istimewa (dan beruntung) ketika istri menunjukan dirinya sendiri—the way she is—tanpa permak dan embel-embel pencitraan luar. Saya merasa istimewa karena hanya sayalah laki-laki (selain kedua anak saya) yang berkesempatan melihat dia menjadi seperti dirinya sendiri.
So, apakah istri keluar rumah dengan dandanan necis—sementara di dalam rumah dandan seadannya—adalah bentuk balas dendam istri? Menurut saya tidak.  Menurut anda?
~Gusti Bob
(Selamat berakhir pekan, dari pulau Bali)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H