Jika kita berbicara mengenai Kalimantan, maka yang identik dari wilayah ini dan yang akan terpikiran oleh khalayak umum adalah hutan yang luas hingga disebut sebagai paru-paru dunia. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup, luas kawasan hutan di Kalimantan Timur mencapai 9,5 juta ha dan 1,6 juta ha di Kalimantan Selatan saja. Belum lagi di wilayah Kalimantan lainnya, sehingga diperikarakan saat ini total luas hutan di Pulau Kalimantan dapat mencapai 22,5 juta ha.
Jumlah kawasan hutan yang sangat luas ini tentunya menjadi keuntungan bagi Indonesia dimana dapat menyumbang oksigen tidak hanya secara nasional tetapi oksigen global pula. Selain itu jumlah kawasan hutan dengan berbagai jenis pohon yang ada dapat menjadi salah satu upaya dalam mencegah bencana banjir dimana hutan dapat menjadi kawasan penyerapan air tambahan yang mencegah tidak terserap dan meluapnya air secara besar-besaran. Namun kondisi ideal tersebut dapat sepenuhnya tercapai. Faktanya, Kalimantan saat ini masih menjadi salah satu kawasan yang sering mengalami bencana banjir.
Bencana banjir yang terjadi di Kalimantan seolah sudah menjadi sebuah bencana tahunan yang dialami oleh penduduk. Banjir besar terjadi pada awal tahun 2020 dan 2021 hingga memakan korban jiwa. Nyaris seluruh daerah di provinsi Kalimantan Selatan terendam oleh genangan banjir.
Tinggi genangan rata-rata berada pada lutut orang dewasa, sehingga sulit untuk petugas mengevakuasi korban. Dan banjir paling besar terjadi pada kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Balangan yang termasuk kawasan dengan hutan yang cukup luas disamping pemukiman yang ditinggali penduduk. Kondisi ini tentunya menjadi kondisi yang kontradiktif dalam menggambarkan kondisi ketersediaan lahan hutan dan bencana banjir.
Faktor penyebab terjadinya banjir ini sendiri antara lain karena air sungai yang meluap. Luapan sungai terjadi karena adanya debit sungai yang besar, sehingga saluran air tak kuasa menampung debit air tersebut atau kapasitas tampung sungai yang berlebih. Kelebihan air juga dapat disebabkan oleh jenuhnya air tanah yang mengakibatkan tingkat penyerapan tanah menjadi rendah sehingga aliran permukaan menjadi tinggi. Ditambah lagi dengan curah hujan yang tinggi, dekat dengan aliran sungai, tersumbatnya saluran, penggunaan air tanah yang berlebihan, serta deforestasi.
Deforestasi sendiri adalah fenomena dimana terjadinya penutupan dan pengalihan lahan hutan menjadi fungsi lainnya. Deforestasi di Indonesia sendiri per 2020 terhitung sebesar 115.459 hektar, yang meskipun jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya, namun jumlah tersebut masih menunjukkan jumlah lahan yang luas dan masih perlu ditekan. Biasanya pengalihan lahan ini dialihkan untuk pemukiman, pembangunan, kawasan industri, penambangan, dan masih banyak lagi.
Dengan adanya pengalihan lahan tersebut, maka lahan-lahan sumber penyerapan air akan rusak rusak atau tertutupi oleh bangunan-bangunan. Sehingga air yang seharusnya diserap atau ditampung oleh lahan basah tersebut menjadi tergenang.
Upaya yang dapat dilakukan yakni seperti reboisasi dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, memperbaiki drainase, tidak membuang sampah sembarangan, serta tidak merusak lahan basah. Selain itu, peran aktif seperti transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah untuk mencegah adanya peralihan lahan besar-besaran, apalagi untuk kepentingan yang tidak mendesak juga diperlukan. Sehingga kolaborasi ketegasan pemerintah dan juga tanggung jawab dari masyarakat diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H