[caption id="attachment_70108" align="alignleft" width="300" caption="tidak masuk akal"][/caption]
Kemarin saya membeli cartridge tinta orisinil karena printer saya kehabisan tinta. Dan kembali saya sewot karena harganya yang selangit. Anda semuanya pasti sudah mengetahuinya bahwa untuk membeli sepasang cartridge orisinil ini (karena satu untuk tinta hitam dan satu untuk tinta warna) harganya hampir sama dengan membeli sebuah printer yang baru lengkap dengan tintanya. Ini buat saya sebuah absurditas ! Saya tahu pasti ada logical explanation untuk ‘keedanan’ seperti ini. Mungkin jawabannya untuk melindungi hak cipta, untuk beaya riset tinta dan teknologi pertintaan dan sebagainya. Namun tetap saja di ‘otak saya yang naif’ ini tidak masuk akal. Lha wong cuma tinta saja kok harganya nggak kira-kira. Jadi memang tidak mengherankan kalau bertebaran orang menjual tinta isi ulang alias refill yang lebih terjangkau oleh saku kita.
Ketidakmasukakalan ini juga terjadi di bank. Tatkala saya masih di bangku sekolah dasar saya mempunyai tabungan sendiri meskipun tentunya amat kecil karena berasal dari uang saku saya dan buat bank mungkin termasuk kelas ’anaknya ikan teri’. Namun sekalipun kecil saya mendapat bunga. Dewasa ini kalau kita tidak memiliki tabungan lebih dari tujuh jutaan jangan harap bisa mendapat untung (seperti dalam lagunya Titik Puspa Ayo Menabung). Malahan tabungan kita sedikit demi sedikit akan berkurang karena kena ’ongkos administrasi’ yang dikenakan pada semua tabungan. Lagi-lagi ’pihak yang berwenang’ akan dapat memberikan penjelasan teknis yang tak terbantahkan. Dan lagi-lagi saya akan geleng-geleng kepala karena tetap doen’t make sense. Barangkali ada pula yang nyeletuk ’ini zaman digital bukan zaman batu seperti dulu’.
Beberapa hari belakangan ini kita diketuk hatinya untuk membantu pelaksanaan operasi cangkok hati Bilqis yang beayanya disebutkan satu miliar lebih. Saya tahu operasi cangkok hati pasti memerlukan beaya yang besar dan dia bukan masuk golongan operasi kecil (minor surgery) seperti operasi usus buntu. Tetapi saya masih sering berpikir dari beaya satu miliar lebih ini, berapa persen untuk beaya obat-obatan, berapa persen untuk jasa dokternya, berapa persen untuk pemasukan rumah sakitnya. Tanpa memandang segala jenis ’jasa’ di rumah sakit, harga obat-obatan yang saya tahu benar-benar ’gila-gilaan’. Terlebih-lebih untuk jenis obat yang belum ada generiknya. Ya berarti, mau tidak mau harus membeli satu-satunya obat branded yang tersedia itu !
Saya mengetahui seorang kenalan yang menderita multiple sclerosis yaitu penyakit karena kerusakan pembungkus syaraf seperti yang juga dialami oleh komedian Pepen. Untuk mempertahankan agar kelainan ini tidak menjadi lebih parah, penderita ini harus menyuntikkan dirinya dengan obat interferon setiap dua hari ( boleh dibilang untuk seumur hidup). Dan harganya untuk sekali suntik sekitar satu juta. Saya jadi sering bertanya dalam hati : Why....why....why ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H