Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Testimoni Mencabut Gigi Pada Pasien yang Mempunyai Jimat

3 Februari 2015   19:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:53 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sudah menjadi dokter gigi lebih dari tigapuluh tahun, jadi bisa mendapuk diri sendiri mempunyai jam terbang yang tinggi. Berbicara mengenai “mencabut gigi” saya cukup banyak makan asam garamnya. Seperti yang pernah tulis, mencabut gigi ini persis seperti menghadapi problema kehidupan. Kadang ada gigi yang nampaknya mudah untuk dicabut, tetapi ternyata susahnya bukan main dicabut. Ada gigi yang nampaknya bakal sulit sekali untuk dicabut, tetapi ternyata gampang sekali mencabutnya. Tak ada pedoman (guidance) bagi dokter gigi untuk meramal apakah sesuatu gigi ini bakal sulit atau mudah untuk dicabut. Rontgen foto sebelum pencabutan memang bisa membantu (karena dokter gigi bisa melihat ukuran dan posisi dari akar gigi), namun ini juga bukanlah jaminan penuh.

Teori tentang pencabutan gigi dengan penyulit sudah banyak ditulis pada jurnal ilmiah kedokteran gigi. Yang menjadi penyulit adalah akar gigi yang pipih (gepeng), akar gigi yang kecil dimensinya, akar gigi yang bengkok, akar gigi yang mekar sehingga dia menyerupai jangkar (angker) yang kokoh mencengkeram tulang, juga akar gigi yang fused (menyatu) dengan tulang alveolar (tulang pada rahang). Akar gigi yang pipih (gepeng) dan akar yang berukuran mikro dikategorikan penyulit, karena pada saat pencabutan sangat rawan putus dari mahkota gigi. Dan bilamana akar yang gepeng atau kecil ini tertinggal dalam rahang, proses pencabutannya pada umumnya sangat sulit. Karena dia gepeng atau kecil, maka pada saat di-bein (dicungkil dengan instrumen yang mirip obeng), sangat rawan patah berkeping-keping. Berbeda kalau akar yang tertinggal ini dimensinya bulat lonjong (bak pisang emas), maka relatif mudah untuk dicabutnya. Penyulit yang lain adalah bilamana tulang pada akar gigi ini kompak (densitasnya padat). Ini ibarat mencabut singkong pada tanah yang padat berkarang. Sampai turun burut kita mengerahkan tenaga mencabut singkong ini, tak akan bergoyah sesentimeter pun. Kiatnya biasanya singkong ini dikencingi dulu supaya tanahnya gembur, baru lebih enteng untuk dicabut. Tapi mencabut gigi dengan tulang yang kompak tentu tak bisa dikencingi dulu mulut pasien. Oh ya, ada petunjuk (indikator) yang lumayan bisa diandalkan untuk mengenali pasien yang mempunyai tulang alveolar yang kompak ini yaitu bilamana dia mempunyai bentuk rahang yang empat persegi (profil wajah seperti kotak).

Teori-teori faktor penyulit pencabutan gigi di atas ternyata belum lengkap menurut saya. Ada satu faktor lain yang luput dari pengamatan dokter gigi, yaitu bilamana si pasien memegang jimat pada tubuhnya. Anda boleh percaya atau tidak, tapi saya perlu menceritakan pengalaman mencabut gigi pasien yang berisi (ada jimat melekat di tubuhnya). Jadi bukan “berisi” seperti eufemisme kalau kita mengatakan pada wanita yang sedang hamil. Pasien ini saya suntik dengan obat bius dengan dosis sebagaimana layaknya. Setelah baal (mati rasa) di sekitar gigi yang akan dicabut, saya memulai prosedur pencabutan gigi. Prediksi melihat secara visual giginya, saya perkirakan tidak akan terlalu sulit mencabutnya. Namun seperti saya katakan di atas, prediksi oleh dokter gigi yang kawakan sekali pun bisa meleset jauh. Dan inilah yang terjadi. Gigi ini bergeming (tak bergerak semilimeter pun) biar pun saya sudah mengerahkan tenaga luar dan tenaga dalam.

Dalam keadaan desparate (putus asa) begini, dokter gigi biasanya selalu membuat blunder (yang sekalipun sudah disadari tetapi tetap dilakukannya) yaitu berusaha menggerakkan gigi ini dengan tang gigi secara full force (istilah awam ‘diforsir’). Apa yang terjadi? Gigi tetap tidak bergerak, apalagi tercabut, malahan mahkota giginya yang patah. Berarti lebih sulit lagi untuk dicabut, karena tak ada pegangan oleh tang gigi. Inilah yang terjadi pada gigi pasien ini. Di saat yang membuat saya utterly desperate (hampir menyerah) ini, pasien ini sekonyong-konyong melepaskan tiga buah cincin bertatahkan batu akik dari jari-jarinya dan meletakkannya di atas baki kecil di samping gelas kumur. Cincin-cincin ini berukuran besar seperti yang dikenakan oleh pelawak Tessy. Saya adalah orang yang tidak percaya takhayul, tetapi yang saya alami membuat saya jadi berpikir-pikir. Setelah jimat tersebut dilepaskan, proses pengambilan (pencabutan) sisa akar menjadi lancar dan mudah. Padahal sebelum pelepasan jimat ini, saya sudah mandi keringat hampir satu jam berusaha mencabut gigi ini. Mungkin Anda bisa mengatakan ini sugesti belaka. Mungkin juga Anda mengatakan setelah satu jam dimanipulasi, memang akar gigi ini akhirnya kehilangan daya cengkeraman dan give way (terlepas). Analisa ini make sense juga. Namun pengalaman dengan pasien berjimat ini mungkin menjadi catatan menarik dalam perjalanan profesi saya sebagai dokter gigi.

Apakah ada korelasi tren orang Indonesia dewasa ini beramai-ramai menggandrungi batu akik dengan jimat untuk menolak bala saya belum mengetahui.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun