Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tante Girang dan Om Senang

30 Mei 2010   08:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:52 4391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_153534" align="alignleft" width="212" caption="(ilust wrdisbond.files.worpress.com)"][/caption]

Seharusnya kita bangga mempunyai tante girang dan om senang karena secara harafiah ’girang’ dan ’senang’ merujuk kepada kondisi kejiwaan yang sumringah dan menyenangkan. Namun seperti kita maklumi bersama, ke dua ungkapan ini sudah mengalami perubahan semantik dengan konotasi negatif sebagai ’wanita hiperseks’ dan ’lelaki hiperseks’. Dalam istilah kerennya kita menyebutnya sebagai wanita dengan nymphomania dan lelaki dengan satyriasis. Tentu ada terbesit rasa penasaran mengapa ‘senang’ dan ‘girang’ dikait-kaitkan dengan perilaku seks menyimpang ini.

Di dalam bahasa Inggris tempo dulu ada suatu padanan kata yang menggambarkan keadaan ‘girang, riang atau senang’ ini yaitu gay.Mungkin tidak banyak orang yang mengetahui bahwa dahulu kala gay benar-benar murni bermakna ‘girang’. Namun dunia terus berputar dan istilah yang netralpun bisa berubah menjadi derogatory (melecehkan). Sehingga terlahirlah istilah gay woman yang bermakna ‘wanita nakal’, gay man yang bermakna ‘pria hidung belang’, gay house yang bermakna ‘rumah bordil’. Dalam perkembangannya sekitar tahun 1920an gay bahkan mulai dipakai untuk merujuk kepada perilaku homoseksual. Di zaman sekarang ini malahan kita tidak mungkin lagi mengatakan the boy has a gay temperament tanpa menimbulkan pandangan bertanya-tanya dari orang yang kita ajak bicara. Sekalipun demikian kata benda gaiety (yang bermakna ‘keceriaan’) masih tetap dipakai dalam wacana karena tidak tertular perubahan semantik dari kata gay tadi.

Kata lain yang cukup drastis mengalami perubahan penafsiran adalah drug. Beberapa dekade yang lalu, drug murni kita maknai dengan ’obat’. Bahkan ada kata drugstore yang bermakna ’toko obat’. Dewasa ini, drug mungkin 90 persen akan ditangkap dalam pengertian kita sebagai narkotik atau obat bius. Ada istilah drug addict yang bermakna ’pecandu obat bius’, drug trafficker (pengedar obat bius), ada lagi kalimat he was drugged yang artinya ’dia dibius’. Dan mengikuti ’jejak’ drug ini terbitlah istilah pot ( ganja) seperti pada kalimat he is smoking pot, crack (kokain), ecstasy, speed (amphetamin) dan sebagainya. Kata-kata bermakna netral seperti pot (jambangan bunga), crack (keretakan) dan ecstasy (renjana), speed (kecepatan) sudah tergeser dan tergusur eksistensinya oleh pemaknaan yang baru.

Seturut juga bergulirnya waktu ada sejumlah kata yang bahkan harus berkali-kali bermetafosa karena alasan sosial budaya diantaranya kata idiot, imbecile dan moron. Ketiga kata ini dahulu kala benar-benar netral dipakai untuk menggambarkan keterbelakangan mental seseorang yaitu IQ 0-25 (disebut idiot), IQ 26-50 (disebut imbecile) dan IQ 51-70 (disebut moron). Namun dalam perjalanannya, ketiga kata ini sudah berubah total menjadi kata makian yang bermakna ’tolol atau goblok’. Maka dicarilah istilah baru untuk menggantikannya dan terciptalah mentally retarded. Tapi lagi-lagi kata ini perlahan-lahan bersalin rupa menjadi kata makian juga yaitu retard. Sekarang ini dipakai eufemisme lain antara lain mentally challenged, intellectual disability atau special needs.

Demikian pula istilah lame (pincang) yang sudah beberapa kali mengalami metamorfosa dimulai dengan kata lame lalu berubah menjadi crippled kemudian menjadi handicapped dan terakhir menjadi disabled. Yang menarik, ternyata kata lame mendapat pemaknaan baru (yang tidak ada kaitannya dengan kepincangan atau kecacatan) yaitu ‘membosankan atau tidak sesuai dengan yang dibayangkan’. Dan yang tentunya juga sudah kita pahami bersama adalah istilah black untuk merujuk kepada mereka dari ras kulit hitam. Jadi memang kita perlu berhati-hati untuk tidak menggunakan istilah ‘jaman baheula’ negro apalagi ungkapan nigger.

Kembali ke soal ‘tante girang’ dan ‘om senang’ ada dua singkatan kata yang unik dalam bahasa kita yaitu WTS dan PSK. Kalau penggagas istilah ‘wanita tuna susila’ ini sudah cukup menimbulkan kontroversi, maka istilah penggantinya bahkan lebih heboh lagi yaitu ‘pekerja seks komersial’. Dengan disebut sebagai pekerja maka seolah-olah kita mengakuinya sebagai profesi formal seperti pekerja pabrik,pekerja perkebunan atau pekerja tambang. Yah, istilah-istilah yang bersinggungan dengan budaya dan sosial akan selalu berubah wujud sejalan dengan dinamika masyarakatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun