Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tak Ada Tukang Parkir di Kota-kota Eropa

20 Juni 2014   23:57 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:57 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14032581261986500921

[caption id="attachment_330092" align="aligncenter" width="612" caption="parkir mobil di kota Perancis (dok pribadi)"][/caption]

Manakala berdarmawisata di sejumlah kota-kota Eropa, saya memperhatikan sesuatu yang membedakan dengan kota-kota di negeri kita. Yaitu di sana tak ada tukang parkir. Mobil mulai dari ukuran kecil sampai super panjang (seperti lorry) memarkir tanpa bantuan tukang parkir. Mobil pribadi umumnya sangat mini antara lain merk Fiat, VW dan memang sesuai dengan jalan-jalan di kota Eropa yang rata-rata sempit. Mobil mini semacam ini pasti tidak laku di Indonesia, karena mirip mobil mainan.

Tak semua kota Eropa menyediakan fasilitas parkir di jalan (on-street parking). Jadi kendaraan mobil diharuskan parkir di parking area yang ditentukan dan dari sini biasanya disediakan shuttle bus yang melewati tempat-tempat turis. Parking area ini kadang-kadang ditempatkan di pinggir kota (outskirt), mengingat lahan di dalam kota yang tak memungkinkan untuk dijadikan area parkir. Kita bandingkan saja dengan kota Jakarta, di mana mobil bisa diparkir di jalanan yang masing-masing “dikuasai” oleh “preman” tukang parkir. Di area parkir, sesuai dengan ketentuan tiap negara, ada yang gratis, ada pula yang berbayar 1-5 euro per jam. Cukup mahal memang, dengan kurs 1 euro = Rp 16 ribu, berarti per jam pengendara mobil membayar 16-80 ribu rupiah. Bandingkan dengan parkir di negara kita yang cuma 3 ribu perak.

Yang menarik perhatian saya yang orang Indonesia, adalah melihat supir kendaraan besar dan panjang melakukan manuver parkir. Karena tak ada tukang parkir dan juga tak ada kernet yang ikut di mobil panjangnya, maka dia sepenuhnya “memegang kendali” (he is on his own). Setempo kalau supir ini agak ragu pada ruang (space) yang ada saat “atret”, maka dia akan turun dari ruang kemudi untuk melongok ke belakang kendaraan memeriksa ruang yang ada. Berbeda dengan di negeri kita, pada saat parkir dan keluar parkir, tanpa diminta dan dicari, selalu ada tukang parkir yang memandu dengan teriakan “terus...terus.... kiri... kiri.... balas.... hop!”.

Setelah saya amati, parkir di jalan (on-street parking) yang diperbolehkan, ternyata juga parkir paralel seperti yang belum lama diterapkan di kota-kota di Indonesia. Waktu pertama kali parkir paralel ini diterapkan, saya mengumpat dalam hati. Soalnya parkir paralel ini lebih ribet dan lebih sulit dibandingkan parkir diagonal yang selama ini di-adopt oleh LLAJR. Mungkin juga “parkir paralel” ini ditiru dari negara Eropa sebagai hasil studi banding anggota DPR yang membuat legislasi UU Lalu Lintas. Analisa saya, memang parkir paralel “mutlak” diadopsi di kota-kota Eropa, karena rata-rata jalan di sana sempit dan tak mungkin untuk diperlebar karena gedung-gedung di kiri kanan jalan merupakan cagar budaya yang umurnya ratusan tahun.

Bicara soal kemacetan lalulintas, di kota Paris saya menyaksikan sendiri betapa padatnya (crowded) lalulintas di sana. Mirip dengan kota Jakarta, hanya bedanya di sana, tak ada kendaraan melanggar lampu merah, melawan arus, masuk ke trotoar, atau membunyikan klakson bertalu-talu. Di kota Amsterdam, seperti juga di kota lain Belanda, sepeda onthel mendominasi lalulintas. Pengendara kereta angin ini bahkan diberi jalur khusus di sebelah trotoar yang dicat warna merah bata. Jadi kalau kita sebagai turis ingin berfoto-foto, jangan lengah turun dari trotoar dan berdiri di jalur merah bata ini. Pengendara sepeda umumnya cukup ngebut menjalankan fiets-nya, dan kalau kita ketabrak dia tak akan minta maaf, karena kita berada di jalur yang salah. Di Amsterdam saya lihat juga ada becak, namun penarik becaknya ada di depan dan tarifnya sekitar 10 euro.

Selain tak melihat tukang parkir, selama berada di Eropa saya juga tak pernah melihat tukang ban. Lantas kalau ada ban bocor bagaimana? Nampaknya, kalau ada masalah di jalan (mogok, ban kempes dsb), kita bisa memanggil jasa perbaikan mobil melalui telepon dan mereka akan segera datang. Tentu saja ongkosnya tak semurah tukang tambal ban di negeri kita yang dengan 15 ribu saja membuat ban kita pulih kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun