Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Senjata Politisi Oportunis Itu Bernama "Populis"

28 Maret 2017   12:07 Diperbarui: 28 Maret 2017   12:32 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di samping isu agama yang sangat ampuh untuk dimanipulasi, ada isu lain yang tak kalah “powerful” sedang dimanfaatkan oleh politisi oportunis di seluruh dunia bernama populis. Istilah populis ini tentu tidak sama lagi dengan di era generasi kakek nenek kita dulu. Di zaman itu, sedikit banyak orang masih bisa melihat dengan nuraninya bahwa ada ketulusan para politisi untuk memberdayakan dan memperjuangkan nasib rakyat kecil. Di zaman kini, populis sudah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga orang tidak mampu lagi menilai.

Ambillah contoh yang mutakhir tentang isu protes petani Gunung Kendeng menentang pendirian pabrik semen dengan cara menyemen betis dan kakinya beramai-ramai. Seorang ibu yang disemen kakinya ada yang tewas. Kemungkinan sebagai akibat kakinya disemen berjam-jam, kemungkinan karena sebab medis lain. Isu kesewenangan terhadap rakyat kecil (populisme) ini langsung ditangkap oleh politisi oportunis untuk menghantam presiden Jokowi.

Saya tidak paham secara mendetail masalah konflik warga Gunung Kendeng dengan Semen Indonesia. Kemungkinan warga Gunung Kendeng yang benar dan Semen Indonesia yang benar adalah fifty-fifty. Tapi seperti yang saya singgung di atas, pokoknya ada rakyat kecil yang kalah maka ini langsung digoreng oleh politisi oportunis sebagai antipopulis (kesewenang-wenangan dan tidak memiliki empati kepada rakyat kecil).

Penulis Denny Siregar yang mengkritisi fenomena ini langsung mendapat bully dan serangan sebagai orang yang sok tahu permasalahan dan orang yang tidak peka pada penderitaan rakyat kecil. Padahal rakyat kecil pun bisa salah dan keliru. Tatkala Gubernur Basuki menertibkan rumah warga yang bermukim di bantaran sungai, para politisi oportunis berteriak-teriak setinggi langit bahwa gubernur telah bertindak sewenang-senang dan berbuat zalim. Upaya gubernur yang menyediakan apartemen beserta isinya bagi warga miskin yang direlokasi tidak masuk hitungan buat mereka.

Pokoknya senjata populis dikeluarkan dulu, urusan duduk perkara sebenarnya tidak penting. Dan memang senjata populis ini sangat ampuh. Publik langsung bereaksi sangat kuat dengan isu populis ini. Persis sama seperti isu agama. Publik seperti kena hipnotis langsung bereaksi sangat keras. Bahkan upaya untuk klarifikasi pun lenyap. Apalagi upaya untuk melakukan introspeksi (mawas diri) hilang seketika.

Gejala populis inilah yang sekarang marak di seantero dunia. Diawali dengan kemenangan yang mencengangkan Donald Trump yang membawa isu populis yang anti-imigran, anti-Islam (tentu dengan penyesatan penalaran untuk melindungi rakyat AS), strategi populis ini menjalar dengan sangat cepat ke ranah perpolitikan di Eropa. Di negeri Belanda, politisi rasis Geert Wilders langsung mendapat angin buritan karena memanfaatkan isu populis yang anti-Islam. Beruntunglah negeri Belanda pada pemilu baru-baru ini, Geert Wilders kalah tipis dari kontestan yang lebih moderat.

Di Perancis, Marine Le Pen yang juga rasis secara mengherankan naik daun karena menghembuskan isu populis. Demikian pula di Jerman, kanselir Angela Merkel dengan kebijaksanaan menerima imigran dari negara-negara muslim yang bertikai, dihantam habis-habisan oleh politisi sayap kanan yang memakai isu populis.

Memang corak dan pola populis dari tiap negara tidak sama. Namun “trick”nya sama yaitu bersuara seolah-olah “melindungi rakyat kecil dari kebijakan yang dipersepsikan menyengsarakan rakyat kecil”. Umat manusia kini dibingungkan bahkan disandera dengan isu agama dan populis di dalam memilih pemimpin. Tapi inilah perangai politisi semenjak dari zaman baheula yaitu “menghalalkan secara cara” (the end justifies the means) seperti kata Machiavelli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun