Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Cerpen Nostalgik Tahun 1913

30 Juli 2011   10:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:14 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13120407351294049280

Ini adalah cerita pendek yang dikutip dari koran Bok Tok, Soerabaia20 Desember 1913. Saya tertarik dengan suasana bahasa yang nostalgik pada masa itu. Ejaan saya sesuaikan dengan ejaan sekarang dan tak usah berpanjang lebar, selamat menikmati uniknya bahasa pada masa itu.

Kisah Maju Nio dan Kolot Nio

Dua hujin bersobatan, yang satu bernama Maju Nio, mendapat pelajaran dan memakai adat Eropa. Yang lain bernama Kolot Nio, tidak terpelajar dan masih memakai adat kolot, karena ia tidak mufakat pada aturan bangsa Eropa.

Kelihatan satu rumah besar, banyak perkakasnya, kursi-kursi semua terderek di pinggir tembok, di tengah galeri melainkan ada satu meja marmer besar dengan empat kursi goyang, di tengahnya meja i piece de millieu (tempat kembang) dan di belakang ini meja kira-kira dua meter ke dalam berdiri meja sembahyang dengan tempat abunya leluhur si nyonya Kolot Nio.

Itu waktu jam 8 malam, kebetulan nyonya Kolot Nio atur makanannya ia punya suami, berhentilah satu Fiat  auto yang indah di depan ia punya rumah, dan tidak antara lama berlompat dari itu auto satu nyonya, yang amat rapi dandanannya, memakai rok sebagai nyonya Olanda, tangan en pundak pun tidak tertutup (gedecolleteered), dadanya maju kemuka sebagai burung dara gondok. Tangannya kanan memegang kipas yang tergantung di satu sautoir (kantong kipas panjang) dan dua jari tangan kiri menjepit satu cigaret yang amat harum baunya.

Begitu turun dari auto dengan jalan mengincik sebagai burung trinil, naiklah ia ke atas undakan dan berhenti di depan pintu tengah dan berteriak:

"Sapadaaaaah!” (aduh, suaranya seperti kucing yang baru lahir).

Hujin yang berteriak ini tidak lain ia itu nyonya Maju Nio. Ia sudah dapat pelajaran di universiteit (sekolah tinggi) di Leiden, dan adatnya meniru bangsa Europa, tidak ada sedikit ketinggalan adatnya ia punya bangsa sendiri, cuma sayang kelihatan matanya sipit, hingga ini yang masih mengentarakan asalnya.

Serentak nyonya Kolot Nio dengar dari dalam itu berteriakan cemlenteng tadi, terburu-buru ia ke dalam kamar akan ganti baju kebaya, karena bajunya yang ia pakai itu waktu, terlalu kotor serta berbau bawang putih dan lainnya bumbu-bumbu dapur.

Betul Maju Nio ia punya sobat keras, tapi Kolot Nio cukup mengetahui ia punya tabiat, yang amat suka sekali menyampain padanya, menjadi ia lebih baik mengalah, supaya si tamu jangan banyak mulut alias nyocol lagi.

Selagi ia ganti baju di kamar, si Maju Nio terus berteriak dua tiga kali: "Sapadaaa! Sapadaaa! Apa tiada manusia dalam ini rumaaaah?"  Begitu ia panggil-panggil dengan kakinya gedruk-gedruk.

"Nanti sebentar, dik!” menyahut si Kolot Nio. "Adik duduk dulu!”

Dengan mulut bersungut Maju Nio segera menarik kursi dari meja tengah dan sebelumnya duduk, ia kebut itu kursi lebih dulu sama setangannya sutra dengan mengucap: "He, wat een smeerbul!” (He, amat kotor sekali). Tapi sebetulnya itu kursi tidak pun ada debu atawa kotoran apa-apa, malahan bersih sekali, cuma saja si Maju Nio bertingkahnya terlalu dan agaknya kayak nyonya Raja.

Tidak lama lagi keluarlah nyonya Kolot Nio dengan berkata: "Wah, dik! Kok senang sekali ngelencer saja".

"Sudah tentu cik, orang perempuan juga musti dapat kesenangan, hoor; tidak melainkan orang lelaki saja. Nee, nee, nee, tacik salah sekali mau dibikin budaknya tacik punya suami, ha-ha-ha-he-he-hi-hi” tertawa si Maju Nio. „Kita toch juga manusia, cik! Apa wajibnya kita disuruh doprok (duduk tanpa kursi atawa bangku) di rumah, sementara orang laki pelesir sesukanya? God, Yezus! Bukan tidak pantas sekali tacik kok jadi mau dibuat begitu, cik! Cik! He-he-hi-hiiiii, hu-hu, ha-ha-haaaa”

"Jangan ketawa begitu keras, dik! Coba lihatlah sampai orang di straat semua berhenti menengok pada kita.”

"Tidak perduli, cik! Tacik ini bagaimana, kok segala mau main malu en sungkan, biar penuh orang di straat kita tak usah ambil pusing. Ha… ha… ha… ha… ha.”

"Nanti, dik, saya tutup pintunya atawa duduk di dalam saja lebih baik.”

"Terima kasih banyak cik, dat zou wat moois zijn, hoor! Sudah panas begini, mau tacik tutup sekali pintunya, dan duduk di dalam, lebih saya tidak mufakat kerna tacik punya rumah di dalam berbau bawang. Saya kalau bau busuk-busuk begitu, lantas jadi misselijk”

"Apa dik, mieseleek itu, jangan adik bicara belanda saja tah, saya ini bodoh tidak sekolah.”

"Misselijk itu artinya belenak cik, saya tidak tahan, baunya bawang. Saya tahu semaput satu kali, waktu saya di inviteer orang mantu, makan bakmi kebetulan kegigit bawang timur.”

"Astaga dik, kok keterlaluan, gigit bawang saja sudah semaput.”

"Apa tacik bilang? Jadi tacik ini tidak percaya sama saya. Orang kalau sudah dapat pelajaran cukup, tidak bisa justa, cik! Apa lagi perkara kecil begitu, jangan tacik sama-samakan seperti hujin-hujin yang tidak tahu pergi dari tanah Java, Godverdomme!”

"Tidak dik, jangan marah lho dik, belon-belon adik ini sudah perdam perdom. Saya ini sungguh tidak katanya mau bilang adik justa, cuma kok saya tidak tahu dengar orang bisa semaput hal dari baunya bawang.”

"Ya, kalau sama tacik, saya bagaimana juga tidak bisa marah betul, tapi coba lain orang begitu tidak percaya pada saya, tentu sudah saya kasih persen tempeleng.”

Si Kolot Nio dengan menggigit bibir dengar omongannya Maju Nio, tapi ia tidak mau teruskan itu bicara, sebab hatinya sabar en suka mengalah. Ia lantas berlompat lain percakapan:

"Dik, dik, saya ini mau tanya lho dik, jangan marah, dik, sebab saya orang bodoh.”

"Tanya saja cik sesukanya, hee… hee… heeee.”

"Dik, adik suka pelesir pergi-pergian itu, kayak apa adik punya laki en anak-anak.? Siapa yang mengerumati? Apa lagi pergian malam-malam begini, bukan kasihan dik, yang ada di rumah”.

"Ach! Itu perkara kecil, cik! Anak-anak sudah ada Gouvernante (pengasuh) yang jaga, dan laki saya sudah ada yang sediakan makanannya, ada koki, jongos, babu, sampai cukup saya punya orang. Saya tidak mau seperti tacik, uangnya begitu banyak dari saya, kok sekakernya bukan main. Segala mau dijalani sendiri. Tacik kalau mati, ia tidak bawa uang. Kita hidup musti bikin senang diri, cik! Nanti kalau mati, kasep. Ha, ha-ha, hi,hi,hiii.”

"Dik, jangan tertawa keras-keras dik, kasihan tah sama saya. Saya punya adat maluan, sebab tidak tahu kumpulan itu apa dik!"

"Ya, baiklah cik. Alright, saya tidak ketawa lagi, tapi betul apa tidak pembilangan saya tadi?”

"Saya ini serba susah, dik! Nanti saya bilang salah, adik lantas marah, cuma saja saya jalani pekerjaan sendiri tidak katanya sekaker dik, saya tidak tego dik, anak-anak kecil-kecil begitu dipasrahkan pengasuh sama sekali dan makanannya saya punya laki pun saya suka jaga sendiri, dik."

"Ach, salah tacik itu. Sekarang zaman kemajuan cik, lain dulu lain sekarang. Dulu orang perempuan masih goblok mau saja disia-sia, tapi sekarang zaman kemajuan, tidak boleh begitu. Laki perempuan sama manusia, tidak ada beda sama sekali lho! Saya lupa cerita pada tacik. Tadi pagi saya pergi di lelangnya tuan Controleur, cik. Saya beli satu gelas Champagne voor f 500,-"

"Aduh, aduh, dik!  Kok seperti dilempar saja uangnya. Sama’an adik pergi lelang itu, kok bisa dik, sesel-seselan tidak keruan sama orang lelaki. Kelihatannya kurang baik, dik. Apa lagi kalau adik pergi-pergi roknya suka pakai model tangan en pundak terbuka sama sekali (gedecolleteerd). Adik kok tidak takut orang buat omongan, sebab meski zaman kemajuan, kita paling terutama toch musti hargakan kita punya bangsa dan kita punya nama, jangan sampai kita dikata perempuan Cina lebih drek-drekan dari pada perempuan kulit putih. Itu zaman kemajuan buat kita punya bangsa, mengertinya kita maju kan kita punya ingatan, supaya mengetahui adat sopan santun yang sempurna. Yang baik kita tiru dik, yang busuk jangan. Percayalah sama saya dik! Saya ini bukan lebih tua sama adik, saya sudah kenyang dik, melihat zaman kemajuan sekarang ini. Sungguh dik, saya berani bilang, bagaimana adanya waktu ini, bukan zaman kemajuan hanya zaman hilang kemaluan. Lah, adik punya laki bagaimana dik, apa diam saja adik berbuat begitu? Bukan kasihan dik, adik punya laki begitu baik. Saya belum pernah dengar ia buang uang dan pergian pelesir seperti adik begitu.”

"Verrek!! Sama ia kalau tidak mau pelesir, itu ia punya mau sendiri. Saya tidak larang, tapi rupanya ia masih pegang adat kolot sedikit, tempo-tempo sampai malu saya kalau pergi sama ia. Tidak pantas sekali, cik, jadi saya punya suami. Kalau saya ingat-ingat getun cik, saya dulu kok tidak dikawinkan bangsa kulit putih saja. Apa saya punya laki itu! Tidak ada gagahnya sama sekali. Kalau saya dapat tamu Olanda laki of perempuan, lantas sering ia tinggal sembunyi; pun saya malah lebih suka begitu, dan saya juga melaga bilang sama tamu, yang ia pergi, tidak ada di rumah. Sebab ia kalau ada tamu tuan-tuan atawa nyonya Olanda, selamanya duduk diam saja, cik, betul seperti tikus diadepin kucing.”

"Banyak belanda-belanda bilang sama saya, tidak pantas sekali yang saya dapat suami yang sebegitu macamnya. Ach sayang-sayang betul cik, coba dulu saya menikah bangsa kulit putih, wah senang sekali, cik! Sungguh cik, kalau laki saya mampus, saya girang cik, lantas saja saya mencari suami bangsa Europa, yang gagahnya seperti tuan Controleur. Laki begitu itu saya senang, cik. Tuan Controleur rupa-rupanya suka sekali melihat pada saya. Ia bilang, coba saya tidak mempunyai suami, ia mau menikah pada saya. Cobalah, kurang ajar betul, cik, Ha…… ha……… haha…… haaaaa! Itu hari ia mau cium sama saya, tapi saya melagak tidak mau, sayang ia sesudahnya begitu belon sekali lagi ia berani ganggu sama saya, sekarang ia di pindah ke Semarang. Makanya saya beli satu gelas Champange voor f 500,-. Itu ada maunya cik, tidak percuma, biar ia meski ada di Semarang supaya jangan lupa pada saya.”

"Sudah dik sudahaaaaah!!!, Jangan omong begitu dik, saya mendengarkan saja sudah malu dan seram, bulu badan saya sebagai mendengar dongengan iblis.”

"Ha…… ha…… ha………, he… he… he, hi… hi…… hiiii.”

Maju Nio terus ketawa sekeras-kerasnya hingga mukanya merah sebagai ayam kalkun, dan tangan kanannya menyambit tangan kirinya, hingga tempat kembang diatas meja terguling, picah hancur sama sekali, di atas jubin. Serentak kejadian begini baru berhenti tertawanya Maju Nio. Si Kolot Nio tidak bisa mengrasakan, dengan hati mendongkol lalu ambil serbet bikin bersih mejanya.

"Jangan marah, cik. Saya tidak sengaja lho, besok pagi saya ganti yang lebih bagus, zaman kemajuan cik, musti pelesir dan ramai sedikit.”

Kolot Nio tidak menjawab apa-apa, sedang hatinya mengharap supaya Maju Nio lekas pulang saja, karena ia lebih lama lebih tidak senang mendengar omongan tamunya yang begitu tidak pantas sekali.

Kebetulan tidak lama lagi, datanglah lakinya si Kolot Nio pelan-pelan masuk rumah. Maju Nio serentak kelihatan ia datang, segera berdiri dan menyambut padanya dengan kepala godak-godek seperti Golek Jonggol dan menanya: "Bagimana cek, baik cek? Duduk cek, tidak usah malu sama saya. Encek punya bini saya punya sobat keras.”

Laki'nya si Kolot Nio tidak berani menyahut, sambil nyirik-nyirik mundur sebagai kuda kepang. Lantas Maju Nio berdiri pegang ia punya tangan dan pundak suruh duduk kursi.

Kolot Nio melihat dengan mulut menganga tingkah lakunya ia punya sobat keras, dan terbit hati cemburuan, khawatir nanti suaminya kena pelet pada Maju Nio, karena ia punya suami memang gagah en bagus.

Itu waktu sudah hampir jam 10 malam, lantas Maju Nio permisi pulang dan sebagai burung trinil ia mengicik turun undakan rumah itu, lalu lompat naik autonya. Selagi pintu auto sudah ditutup dengan keras Maju Nio berkata pada chauffeur-nya:

„Chauffeur!! Lekas ke rumahnya tuan Controleur!!”

Apa yang kejadian di rumahnya tuan Controleur, pembaca musti bisa menduga sendiri.

Tableau!!!!

* Dikutip dari website Tjamboek Berdoeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun