[caption id="attachment_399998" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com/Bebeto Matthews)"][/caption]
Sedari duduk di bangku SD, kita belajar peribahasa Indonesia beserta maknanya. Sesuai dengan namanya, peribahasa adalah pengibaratan dari kondisi riel yang ada, misalnya “Seperti telur di ujung tanduk” menyiratkan “keadaan yang sangat rawan dan berbahaya”, karena kita bisa membayangkan bahwa telur yang diletakkan di ujung tanduk, sewaktu-waktu akan jatuh ke tanah dan pecah. Ada banyak peribahasa yang bagus dan unik dalam khazanah bahasa Indonesia. Namun dari sekian ribu peribahasa yang kita punyai, menurut saya ada sejumlah kiasan (metafora) yang “bermasalah” dengan akal sehat (nalar) kita. Marilah kita tinjau, peribahasa-peribahasa yang saya maksudkan itu.
Ada peribahasa “Habis manis, sepah dibuang”. Orang disindir dengan “habis manis, sepah dibuang” bila dia berperilaku buruk mencampakkan orang yang memberi kemanisan dalam hidupnya. Yang menjadi “persoalan” buat saya adalah kiasan yang dipakai. Sudah sewajarnya, sehabis mengambil manisnya batang tebu, maka sepahnya kita buang. Jadi, ini bukan perbuatan tercela seperti yang disiratkan dalam maknanya. Jadi kalau menggunakan istilah bahasa Inggris, saya bisa mengatakan “it is quite obvious” (sudah dengan sendiri, sudah sangat gamblang), bak mengatakan “habis makan, kita kenyang”. Tanpa kata bijak, anak kecil pun sudah paham itu. Kecuali barangkali berlaku bagi orang gila yang “habis manis, sepah ditelan”.
Ada lagi peribahasa “Sambil menyelam, minum air” yang mempunyai makna “melakukan dua pekerjaan sekaligus pada waktu yang bersamaan”. Saya menggugat peribahasa ini, karena tidak ada orang yang sedang menyelam, kemudian minum air kolam/air sungai/air laut untuk menghilangkan dahaganya. Kalau sampai terminum air sedikit, ini pasti kecelakaan, bukan kesengajaan. Jadi, metafora (perumpamaan) ini kurang pas untuk menggambarkan “merampungkan dua pekerjaan secara berbarengan”. Secara bercanda saya mengatakan, hanya orang gila yang pergi menyelam dan sekalian minum air kolam/air sungai untuk menghemat waktu ketimbang dia harus ke darat dulu mencari air aqua dalam botol.
Ada peribahasa “nasi sudah menjadi bubur” yang maknanya kita ketahui adalah “sudah telanjur”. Yang menjadi masalah dari peribahasa ini adalah fakta bahwa “nasi tidak mungkin berubah menjadi bubur”. Kalau beras kita tanak menjadi untuk menjadi nasi, maka ujudnya akan selalu nasi. Demikian pula, kalau beras kita tanak untuk menjadi bubur, maka ujudnya akan selalu bubur. Tak mungkin, nasi berubah menjadi bubur, pun sebaliknya bubur berubah menjadi nasi. Jadi, secara nalar “nasi sudah menjadi bubur” itu impossible (mustahil) dapat dilakukan. Mungkin hanya tukang sulap saja yang bisa mengubah nasi menjadi bubur.
Ada lagi peribahasa yang mengusik akal sehat saya yaitu “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri”. Kedua kondisi ini memang tidak mengenakkan, karena kepala bisa benjut kejatuhan benda padat itu. Tapi kalau disuruh memilih, di antara keduanya, saya kira kita semua lebih suka memilih hujan emas ketimbang hujan batu. Hanya orang yang tidak waras saja yang memilih hujan batu (kecuali batu dimaksud adalah ‘batu akik’). Saya pikir yang menciptakan peribahasa ini dahulu belum pernah membayangkan bahwa kelak di Indonesia akan banyak hujan batu dari tawuran pelajar dan demo-demo anarkis.
Lalu ada peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Saya tak habis berpikir, apa yang salah dengan kencing berdiri, kalau gurunya lelaki. Normal-normal saja itu. Lain soal, kalau gurunya perempuan, dan kencing berdiri. Mungkin muridnya akan lari ketakutan melihat ibu guru kencing berdiri. Tapi ini persoalan tersendiri. Ada soal yang lain, yaitu saya tak pernah melihat orang kencing sambil berlari, kecuali mungkin saat sedang dikejar anjing galak dan lari terkencing-kencing saking takutnya. Jadi, yang mau saya katakan, kalau guru memberi teladan kencing berdiri, pasti muridnya akan meniru teladan dengan kencing berdiri, bukan dengan kencing berlari. Kalau guru memberi teladan kencing berlari, mungkin muridnya baru akan mengikuti teladan dengan kencing berlari. Bagaimana kalau guru kencing jongkok? Ya, tentunya murid akan meniru dengan kencing jongkok.
Lantas ada pula kiasan “hangat-hangat tahi ayam” yang berarti “kemauan yang tidak tetap atau angin-anginan”. Saya penasaran dengan metafora “tahi ayam” ini yang dikatakan “hangat-hangat”. Apakah tahi-tahi binatang lain tidak hangat pada waktu keluar dari pelepasannya dan kemudian akan mendingin juga? Mengapa tak kita katakan “hangat-hangat tahi kuda” atau “hangat-hangat tahi sapi” atau “hangat-hangat tahi musang luwak”? Kemudian, ada kiasan “lidah tak bertulang” yang bermakna “mudah membuat janji, sulit menepatinya”. Saya membayangkan apa yang akan terjadi, kalau sekonyong-konyong Tuhan memberi tulang pada lidah kita, karena kita sudah mencela lidah tak bertulang sebagai biangnya orang berdusta, berbohong, dan mengobral janji. Ya, ini semua hanyalah kontemplasi bahasa ringan dalam canda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H