Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Parthenogenesis: Wanita Tidak Membutuhkan Laki-laki!

2 November 2010   07:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:54 1353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_312080" align="aligncenter" width="432" caption="ilust sovereignliving.org.uk"][/caption]

Baru-baru ini saya membaca tulisan yang cukup menyentak, di mana disebutkan wanita dapat mempunyai anak tanpa suami. Ini dalam artian harfiah (literally), bukan permaknaan insinuatif di mana sang lelaki kabur setelah mengetahui sang wanita hamil (hit and run). Namun anda tidak usah heboh terlebih dahulu, karena kasus yang cukup unik ini bukan terjadi pada manusia, tetapi pada dunia satwa. Dan nama fenomena ‘ajaib’ ini adalah parthenogenesis. Sejumlah satwa invertebrata ( tidak bertulang belakang) diantaranya lebah madu (honey bee), cacing tanah (nematode) mampu berkembang biak tanpa kehadiran pejantan. Dan yang cukup mengejutkan saya, ternyata komodo juga mampu melaksanakan parthenogenesis ini, manakala tidak ada komodo jantan di wilayahnya. Demikian pula burung kalkun (turkey) dapat menghasilkan anak kalkun tanpa harus kawin dengan kalkun jantan. Konon, secara diam-diam sekarang sedang dilakukan penelitian ilmiah untuk menerapkan parthenogenesis ini pada manusia.

Cerita di atas membuat saya tepekur memikirkan relasi antara wanita dan laki-laki (pada manusia, bukan pada satwa). Barangkali memang benar wanita tidak membutuhkan laki-laki. Kalau di zaman dahulu wanita menikah dengan pria dengan pola pikir (paradigma) sang suami akan menjadi pencari nafkah (bread-winner). Disamping itu wanita menikah untuk mendapatkan status sosial. Namun khususnya di peradaban Barat ’alasan’ di atas sudah tidak relevan lagi, karena di sana sudah jamak wanita bekerja dan tidak ada lagi ’stigma’ masyarakat sebagai wanita yang ’nggak laku’ kalau dia tidak menikah.

Saya tepekur, karena di dalam lembaga yang dinamakan perkawinan ini, laki-laki sering merasa ’mendengar’ ucapan wanita yang mendampingi hidupnya ’Aku tidak membutuhkan dirimu’, sekali pun hanya dalam bentuk bahasa tubuhnya. Kalimat yang tak terucap ini tentu tidak ujug-ujug dan sepertinya berawal dari kekecewaan wanita (yang tidak pernah dimengerti laki-laki) karena merasa dicueki. Manifestasi ’aku tidak butuh dirimu’ ini sungguh suatu malapetaka bagi lelaki. Karena ini bermakna ’permintaannya’ nanti malam akan ditolak mentah-mentah di atas ranjang. Baik dengan cara yang halus dan ’klasik’( aku lagi sakit kepala atau pusing) atau kadang-kadang dengan terus terang memaparkan ’dosa’ sang suami (umumnya karena cuek), sehingga seperti anak yang nakal, maka sang suami akan dihukum dengan No sex tonight. Maka dalam sekejap berubahlah atribut sang suami menjadi ’pengemis cinta’.

Tiba-tiba saya koq teringat dengan kasus seorang suami yang dibunuh oleh istri keduanya dan dimutilasi menjadi 17 bagian termasuk salah satu di antaranya (maaf) penisnya. Ini gara-gara sang suami tetap mengabaikan permintaan istrinya untuk tidak memadu wanita lain. Di mata si istri yang kesabarannya mungkin sudah sampai di ubun-ubun, suaminya tidak lebih dari a male chauvinistic pig. Sebagai sesama korps lelaki, saya cukup prihatin, karena saya mempunyai kekhawatiran (yang mungkin tidak rasional), jangan-jangan semua wanita di dalam hati kecilnya–setidak-tidaknya pernah pada suatu waktu– berkata bahwa ’para suami mengawini dirinya tidak lain karena mencari seks’. Apakah saya sedang melakukan pembelaan atau pembenaran dari ’korps lelaki’? Kalau pun iya, tentu ini tidak memberi manfaat, karena hal ini bukan sidang di pengadilan di mana ada yang dimenangkan dan dikalahkan.

Para kaum Adam juga tidak bisa membalas dengan mengatakan ’aku tidak butuh wanita’, sekali pun ada juga yang sok gagah-gagahan membual Woman, who needs her! Jadi the main point (hal yang pokok) adalah janganlah sampai sang wanita mengucapkan ’aku tidak butuh lelaki’, baik secara tersurat atau pun tersirat, baik sebagai ’ancaman kosong’ atau pun ’ancaman serius’, karena kalau itu terjadi, maka akan terjadi gempa bumi, tsunami dan gunung meletus menjadi satu buat para lelaki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun