[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]
Metafora adalah semacam kiasan atau perumpamaan yang kita pakai untuk mempercantik atau memperkuat sesuatu ungkapan, misalnya pada kalimat “Dia adalah tulang punggung keluarga” atau “Dunia ini panggung sandiwara”. Sekalipun membuat kiasan memberi kita kebebasan berkhayal jauh, namun jangan sampai nalar (logika) dicampakkan dan dipersetankan. Kebetulan saya menemukan dua contoh metafora “nyeleneh” yang menarik.
Contoh yang pertama, diambil dari iklan satu halaman penuh memperingati 57 tahun Astra berkiprah di Indonesia. Di situ tertulis puisi yang diawali dengan “Setiap detak nafas mengiringi tekad ‘tuk jadi bermakna”. Dan seminggu kemudian, saya membaca di Surat Kepada Redaksi Kompas tulisan seorang pembaca yang sebagian kutipannya sebagai berikut: Ada hal yang mengusik ketika membaca baris pertama iklan itu: “Setiap detak nafas mengiringi....”. Sungguh aneh sebab nafas tidak berdetak. Yang berdetak adalah jantung, jam, atau hati (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002 halaman 258).
Saya setuju dengan hemat penulis tersebut, karena sekalipun kita membuat analogi atau perumpamaan, janganlah dia dibuat menjadi absurd atau tak masuk akal. Cobalah Anda bayangkan “nafas orang yang berdetak”, kan akhirnya menjadi ludicrous (menggelikan kayak dagelan), karena kita semua mafhum bahwa yang berdetak dalam tubuh kita adalah jantung, bukan nafas. Barangkali satu-satunya kemungkinan “nafas kita berdetak” adalah pada saat kita cegukan (hiccup), tapi tentunya bukan ini maksud metafora yang ingin diungkapkan oleh puisi Astra tersebut.
Contoh metafora yang “ngelantur bin ngelindur” lainnya saya baca pada halaman pertama (headline) harian Kompas kemarin (7 Maret 2014) yang berjudul (Piala Dunia 2014) “Persaingan Panas Menuju Brasil”. Kutipannya pada paragraf pertama: Piala Dunia Brasil 2014 masih sekitar empat bulan lagi. Meski demikian, tensi persaingan tim sudah terasa panas. (lihat gambar). Bagaimana ini, “tensi kok bisa panas”? Setahu saya tensi itu kemungkinannya hanya “tinggi atau rendah”, “meningkat atau menurun”. Mustahil bila disebut “tensi menjadi panas” atau “tensi menjadi dingin”. Kalau si penulis berita ingin menggunakan metafora “panas”, barangkali bisa dipakai kiasan “suhu persaingan tim sudah terasa panas”.
[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="ilust kompas epaper"]
Saya jadi teringat pada kerancuan metafora yang sering diucapkan oleh pembaca acara (MC) yaitu “menginjak acara selanjutnya akan dibacakan laporan tahunan... dst”. Kita sering mengernyitkan kening bertanya dalam hati mengapa “acara kok diinjak”. Padahal yang benar seharusnya diucapkan dengan “beranjak ke acara berikutnya akan dibacakan.....”. Menurut KBBI, “beranjak” mempunyai makna “berpindah, bergerak” dan kurang lebih berpadanan dengan istilah Inggris “move on”. Istilah move on ini sekarang menjadi tren dipakai sebagai bahasa gaul yang khusus dipakai untuk muda-mudi yang bangkit kembali setelah terpuruk karena putus cinta. Memang aneh bahasa alay yang satu ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H