[caption id="attachment_184312" align="aligncenter" width="608" caption="(ilust copperplate victorian handwriting)"][/caption]
Saya merasa beruntung masih mengalami masa tempo doeloe di mana murid-murid Sekolah Dasar diajarkan ‘menulis halus’. Ini adalah pelajaran menulis huruf sambung (jadi bukan huruf cetak) yang mempunyai aturan yang amat rumit untuk ukuran anak usia 7-8 tahun. Sebelum diijinkan menggunakan pena tinta celup, kita harus berlatih dahulu dengan memakai potlot. Ujung potlot ini harus selalu runcing, karena huruf sambung yang akan kita tulis ini ada yang bergaris tipis dan ada yang bergaris tebal berselang-seling. Apabila ujung potlot tumpul tentu akan menghasilkan huruf dengan ketebalan garis yang sama dan dianggap tak memenuhi syarat.
Dengan mengikuti contoh tulisan alfabet (abjad) yang ada, kita berlatih menulis dengan sesempurna mungkin. Selain harus ditulis dengan garis tipis dan tebal, huruf ini harus memiliki kemiringan yang sama yaitu sekitar 55 derajat ke kanan. Selama menulis halus ini tangan kita ‘dilarang’ untuk diangkat dari atas kertas sampai sebuah kata selesai dikalamkan. Ibu guru akan mengecek hasil tulisan tangan kita dan kalau dinilai buruk maka punggung tangan kita akan dihadiahi pukulan penggaris.
Dalam bahasa Inggris tulisan tangan dengan gaya semacam ini dinamakan ’copperplate handwriting’. Copperplate sesungguhnya adalah pelat dari tembaga yang dahulu kala diukir (digravir) untuk kemudian dicetakkan pada kertas. Karena buku pedoman ’menulis halus’ ini dicetak dengan menggunakan pelat tembaga ini maka sebutan ’copperplate handwriting’ sampai sekarang tetap dipakai untuk mengacu pada tulisan tangan yang indah ini. Tulisan tangan semacam ini tentu sudah sangat langka bisa kita temui. Mungkin hanya generasi kakek nenek kita saja yang masih mempertahankan gaya menulis seperti ini, hurufnya relatif besar, doyong ke kanan dan sangat jelas terbaca.
Setelah cukup mahir menuliskan dengan potlot, anak-anak tempo doeloe akan berlatih menulis halus dengan menggunakan pena celup. Pena ini berujung runcing sehingga kita mampu menuliskan huruf-huruf ini dengan garis tipis dan tebal sesuai pakemnya. Pena ini harus dicelupkan ke dalam botol tinta setiap kita menulis dua atau tiga kata. Setelah anak-anak beranjak lebih besar, mereka akan menggunakan vulpen (fountain pen) yaitu pena yang mempunyai tabung untuk diisi tinta. Mereka dari generasi tua tentu masih ingat botol tinta bermerk Parker yang selalu tersedia di atas bangku sekolah. Pada saat mengisi vulpen ini dengan cara menyedot tinta dalam botol tak jarang kita malah menyemprotkannya ke baju seragam teman yang duduk di dekat kita.
Karena terkenal sebagai murid dengan tulisan tangan yang bagus, saya sering mendapat kehormatan untuk menyalin bahan pelajaran di papan tulis dengan kapur tulis. Selanjutnya teman-teman sekelas akan mengutipnya pada buku tulis masing-masing. Zaman memang sudah berubah banyak. Dahulu kala pemakaian bolpen (ball point) dilarang keras, karena dianggap akan merusak tulisan tangan. Semasa kejayaan pena celup dan vulpen ada juga yang dinamakan kertas peresap atau vloeipapier dalam bahasa Belanda, blotting paper dalam bahasa Inggris. Vloeipapier ini ditekankan pada tulisan tangan kita yang masih basah, supaya tidak ’mblobor’. Karena kertas peresap ini akan menyalin tulisan tangan kita dalam citra (image) yang terbalik, maka di zaman itu sering dijadikan plot dalam cerita-cerita detektif untuk memecahkan misteri suatu kejahatan.
Generasi muda masa kini sudah memiliki gaya menulis yang jauh berbeda. Bahkan huruf sambung (yang juga dinamakan huruf kursif) ini juga meredup dan diganti dengan huruf balok. Ya, saya hanya sekedar bernostalgia, tatkala copperplate handwriting masih berjaya dengan melihat pada kartupos kuno yang berhiaskan tulisan indah si pengirimnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H