[caption id="attachment_156977" align="aligncenter" width="621" caption="(ilust becomingdomestic.co.uk)"][/caption]
Beberapa bulan berselang saya mendapati kabel-kabel listrik di unit gigi (dental unit) putus terpotong-potong digigit tikus. Rasa mendongkol jelas ada, tetapi ada pertanyaan yang mungkin sudah lama terpendam dalam benak saya yaitu mengapa tikus-tikus ini memakan kabel. Kabel toh bukan makanan yang lezat untuk disantap, itulah logika yang saya pakai. Tak terhitung sudah cerita pengalaman dari orang-orang lain yang mendapat ‘musibah’ karena ulah binatang mengerat ini, selang bensin di ruang mesin mobil bolong dan bocor karena digerogoti tikus, instalasi kabel listrik di plafon rumah yang terkoyak-koyak digigiti tikus dan seterusnya.
Akhirnya saya mendapatkan jawaban atas kepenasaran saya belum lama ini. Ternyata fisiologi gigi-geligi tikus berbeda dengan manusia. Manusia mengalami pergantian gigi pada usia 6-7 tahun dari gigi susu menjadi gigi tetap. Pada binatang rodensia (hewan mengerat) tak ada pergantian gigi tersebut. Namun yang sangat spesifik pada satwa mengerat ini (seperti tikus, kelinci, marmut, hamster), gigi mereka terus tumbuh sepanjang hidupnya. Kalau gigi ini dibiarkan terus memanjang, maka pada akhirnya tikus ini tidak akan sanggup mengunyah makanan dengan giginya. Oleh karenanya, pekerjaan mengerat mutlak harus dilakukan untuk mengikis gigi-geliginya yang memanjang ini. Alhasil benda apa saja yang ada di sekitarnya akan menjadi ‘korban’ untuk digerogoti, terutama benda kecil dan keras seperti kabel listrik dan selang plastik.
Gejala gigi yang memanjang pada binatang mengerat ini antara lain mengiler (drooling), makanan yang dicaplok mudah terlepas kembali, penampilan gigi-geligi yang abnormal panjang dan apabila kondisi ini terus berlanjut, maka tikus ini akan mati kelaparan karena tidak sanggup mengunyah makanan. Untuk hewan peliharaan seperti kelinci, maka gigi yang modot ini harus dikikir/dikikis dengan bantuan dokter hewan. Setelah dibius, maka hewan pengerat ini akan dipotong giginya sampai ukuran yang memungkinkan dia untuk mengunyah makanan.
Gejala gigi yang tidak ‘harmonis’ bertemu antara geligi atas dan geligi bawah ini dinamakan dengan maloklusi (malocclusion). Pada manusia juga sering terjadi maloklusi ini, namun penyebabnya bukan karena giginya terus tumbuh. Bruxisme (kebiasaan mengerat gigi pada saat tidur), kecelakaan yang mengakibatkan fraktur pada rahang, dan juga keturunan merupakan pencetus terjadinya maloklusi. Saya pernah menjumpai pasien patah rahang bawah (mandibula) yang sudah disambung kembali dengan pelat titanium, namun sama sekali tidak dapat mengunyah. Alasannya, karena pada saat operasi penyambungan rahang yang patah ini, dokter bedah plastik tidak memperhatikan oklusi (kontak gigi atas dan bawah). Akibat yang diderita pasien, gigi atas dan bawahnya tak saling bertemu, sehingga seumur hidup dia hanya bisa makan makanan cair saja.
[caption id="attachment_156978" align="aligncenter" width="280" caption="TMJ (ilust cidpusa.org)"]
Untuk mengoreksi dan memulihkan oklusi memang sangat rumit dan sulit. Rahang yang sudah tersambung ini harus dipatahkan kembali dan disambung ulang dengan memperhatikan oklusinya. Operasi ini pun belum tentu berhasil karena setelah berbulan-bulan pasien mengalami maloklusi, maka akan terjadi kerusakan lebih lanjut pada persendian rahang yang dinamakan temporo-mandibular joint (TMJ). Kerusakan pada TMJ jauh lebih rumit lagi penanganannya. Oleh karenanya, oklusi yang normal sekalipun merupakan hal yang kita anggap lumrah (taken for granted), sesungguhnya sangat vital untuk dijaga. Dan omong-omong soal tikus, rupa-rupanya dia datang ke praktek dokter gigi untuk ditangani gigi-geliginya, tapi dengan cara yang menyengsarakan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H