Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengapa Judul "I Don't Read What I Sign" Sontoloyo

14 April 2015   00:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 12762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14289445642057397487

[caption id="attachment_378273" align="aligncenter" width="508" caption="ilust jakartaglobe"][/caption]

Sebenarnya saya mau memberi judul tulisan ini ‘Repotnya Punya Presiden Yang Tidak Pernah Marah”, namun mengingat saya ingin melancarkan kritikan tentang pemakaian judul berbahasa Inggris yang super ngawur, maka saya memilih judul di atas. Mungkin semua dari kita sudah membaca judul yang termuat pada koran “Jakarta Globe” pada halaman 6 yang selengkapnya tertulis: Joko: “I Don’t Read What I Sign”. Dari apa yang tertulis ini, si editor jelas ingin menginsinuasi kepada pembacanya bahwa ucapan ini adalah quote (kutipan) yang berarti keluar dari mulut Presiden Jokowi sendiri, yang kurang lebih berbunyi “Saya Tidak Baca Apa Yang Saya Tandatangani”.

Dari penelusuran yang saya lakukan, ternyata Jokowi tak pernah mengucapkan kalimat di atas. Yang diucapkan Presiden adalah “Coba saya lihat lagi. Enggak mungkin satu-satu saya cek. Kalau sudah satu lembar ada 5 sampai 10 orang yang paraf atau tanda tangan, apakah harus saya cek satu-satu? Berapa lembar satu Perpres, satu Keppres? Saya tidak tahu, saya cek dulu.” Dalam versi bahasa Inggris kurang lebih juga senada yaitu “It’s impossible for me to check one by one, each page (of documents) that I have signed. If there are already five to ten signatures on a page, should I check it again? (Do you know) how many pages there are in a presidential regulation, in a presidential decree? I know nothing about this.”. Dari sini terlihat jelas si editor yang memberi judul ini telah melakukan penyesatan publik seolah-olah ini keluar dari mulut Jokowi sendiri. Dalam idiom bahasa Inggris disebut dengan “put words into someone’s mouth” yang maknanya “membuat interpretasi sesuka hati sendiri dari apa yang dikatakan seseorang dan bukan merupakan hal yang dimaksudkan oleh si pembicara”.

Namun yang parah lagi adalah tense yang dipakai oleh si editor Jakarta Globe yaitu simple present tense. Dengan menggunakan simple present tense, dengan sengaja dia mau menggiring opini pembaca bahwa hal ini merupakan kebiasaan atau kelaziman yang dilakukan oleh Jokowi. Inilah penjelasan mengenai pemakaian simple present tense: Use the Simple Present to express the idea that an action is repeated or usual. The action can be a habit, a hobby, a daily event, a scheduled event or something that often happens. Editor yang memakai nama Hamizan77 di Kaskus dengan entengnya menulis “I didn't think my headline would get so much attention. Our chief editor was actually very upset. Itu alasan kenapa headline-nya di web version ga sama dgn print. Bos besar jadi marah dan suruh headline di web version diganti. He thinks my headline is too critical. Tapi I'm glad people are talking about the story. What do you think? Too critical? Dia bangga judulnya jadi terkenal, dan bertanya basa-basi apakah judulnya terlalu kritis. Kalau saya bisa berteriak di depan kupingnya, saya akan bilang, ini bukan soal kritis, tapi soal pembohongan dan penyesatan publik dan merupakan pelanggaran kode etik jurnalisme.

Seandainya kalimat di atas digunakan simple past tense “Joko: I didn’t read when I Signed It” mungkin dosanya agak berkurang, karena orang akan mengartikannya bahwa tanda tangan yang kurang cermat ini hanya satu kali ini saja terjadinya, bukan merupakan kebiasaan yang dilakukan Jokowi sehari-hari. Namun biar pun begitu, simple past juga sontoloyo, karena (sekali lagi) Jokowi tak pernah mengucapkan kalimat tersebut. Apa dampak yang langsung terlihat? Para Jokowi haters tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mem-bully presiden, bahkan Jusril Mahendra di twitter-nya menambahkan bumbu komennya dengan menulis “Presiden Jokowi makin mendunia. Ini berita di Wall Street Journal, salah satu koran terkemuka di dunia”.

Saya bukan termasuk kelompok Jokowi lover, namun saya menyayangkan tindakan sembrono editor Jakarta Globe ini. Saya tidak mempermasalahkan kejadian “kecolongan Keppres” ini per se, karena memang mungkin presiden kurang cermat. Si editor juga tidak bisa berkelit dengan mengatakan secara naïf bahwa dia tidak menyangka kalimat berbahasa Inggris ini akan menimbulkan kehebohan. Jadi, mohon maaf, saya terpaksa mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh si editor ini sungguh memalukan dan sontoloyo. Kalau saya jadi Jokowi, saya akan tuntut dan somasi atas judul yang ngawur itu. Sayangnya, presiden Jokowi tidak bisa marah, seperti yang saya kemukakan di awal tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun