Sebenarnya, tidak dibutuhkan seorang ahli bahasa untuk memberikan pencerahan tentang makna dari “dibohongi pake” ini. Semua orang awam dengan mudah dapat memahami makna diksi “dibohongi pake” ini. Seorang pembohong (mulai dari pembohong kecil-kecilan sampai dengan penipu) dalam menjalankan aksinya selalu memakai medium (“senjata”) rujukan institusi atau entitas yang sangat bonafid dan kredibel untuk meyakinkan seratus persen calon obyek yang akan dibohongi atau ditipunya. Kalau “senjata” (medium) yang dipakainya kurang meyakinkan orang, maka gagallah upaya membohongi atau menipu banyak orang.
Seorang dokter gadungan dalam beraksi akan mengenakan baju jas dokter lengkap dengan stetoskop yang dikalungkan di lehernya. Ini medium yang ampuh dan kredibel, karena orang akan yakin sepenuhnya bahwa dia adalah dokter. Maka kita akan mengatakan “dibohongi pake seragam dokter”. Apakah lantas kita menyimpulkan bahwa profesi dokter adalah pembohong? Ya, jelas tidak. Contoh lain, ada penipu yang memakai medium seragam TNI berpangkat jenderal (semua seragam beserta tanda pangkatnya asli) di dalam menjalankan aksinya. Banyak orang teperdaya, karena TNI adalah institusi yang kredibel dan berwibawa. Ini kita sebut dengan “membohongi pake TNI”. Apakah lantas orang menarik kesimpulan bahwa TNI adalah pembohong? Sekali lagi, jelas tidak.
Saya bisa mengatakan, tidak ada “senjata” yang lebih dahsyat bagi seorang pembohong atau penipu daripada menggunakan ayat-ayat kitab suci sebagai mediumnya. Banyak orang, bahkan orang dengan kecerdasan di atas rata-rata akan termakan dengan kebohongannya, karena kita semua percaya bahwa kitab suci adalah sakral dan maha benar.
Inilah diksi yang disebut dengan “dibohongi dengan kitab suci”. Lantas, apakah orang kemudian berkesimpulan bahwa kitab suci pembohong? Ya, jelas dan gamblang sekali tidak. Apakah orang yang menyatakan “dibohongi dengan kitab suci” secara tersirat mau mengatakan bahwa kitab suci pembohong? Juga sangat jelas tidak.
Apakah ada kasus lain “membohongi pake kitab suci” baik di negeri kita sendiri atau di negara lain? Kalau kita cermati, sesungguhnya cukup banyak. Kasus Gatot Brajamukti dan Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah contoh “membohongi pake kitab suci”. MUI sendiri cukup sering merilis suatu kelompok sebagai penyebar ajaran sesat.
Dan ajaran ini memakai kitab suci yang sama. Dalam hal ini, apabila MUI menyatakan bahwa Gatot Brajamukti atau Dimas Kanjeng telah “membohongi dengan Alquran” sama sekali bukan berarti mereka menyiratkan atau mengatakan bahwa Alquran berbohong. Di luar negeri, tak kurang banyaknya orang yang “dibohongi pake kitab suci” sampai rela hartanya ludes bahkan rela mati. Apakah ini berarti kitab suci pembohong? Jelas tidak. Atau apakah pihak berwenang yang menyatakan bahwa “sejumlah orang telah dibohongi pake kitab suci”, secara tersirat telah melakukan penistaan dan penghinaan kitab suci? Silakan kita jawab dengan sejujurnya dalam hati kita masing-masing.
Mudah-mudahan tulisan kecil ini bisa membuka sedikit pintu hati saudara-saudara sebangsa dan setanah air memaknai diksi “dibohongi pake” sesuai dengan konteksnya. Karena saya juga manusia dengan segala kelemahan, saya mohon maaf apabila pemikiran saya dianggap bias dan memihak. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H