[caption id="attachment_311985" align="aligncenter" width="649" caption="ilust kompas epaper"][/caption]
Bila Anda sedikit teliti membaca berita tentang “mukjizat” seseorang yang bertahan hidup terombang-ambing di Samudra Pasifik selama 13 bulan, pada harian Kompas kemarin, maka Anda akan menemukan istilah yang ganjil di situ yaitu “celana kaki”. Dinarasikan di situ, si penyintas (survivor) Alvarenga, tiba kembali ke tanah airnya dan disambut oleh banyak orang di bandara. Inilah kutipan yang menggambarkan perlengkapan yang dikenakannya: [Mengenakan kaus warna biru, celana kaki, dan sepatu tenis, lelaki berusia 37 tahun tersebut meninggalkan bandara dengan kursi roda...].
Saya tak tahu, berapa persen di antara pembaca yang dapat menangkap dengan betul penyebutan “celana kaki”, namun saya tengarai sebagian besar generasi muda akan salah menangkap maknanya. Berita ini disadur dari bahasa Inggris yang tertulis: [Alvarenga, wearing a dark blue T-shirt, khaki trousers, and white tennis shoes, was....]. Jadi “aslinya” di situ tertulis “khaki” yang lantas diindonesiakan menjadi “kaki”.
Istilah “khaki” di zaman tahun 60 sampai 80-an cukup populer yang mengacu pada warna coklat muda atau beige. Yang paling sering dipadukan dengan kata “khaki” adalah kata “celana” menjadi “celana khaki”, karena celana katun berwarna krem ini banyak dipakai untuk seragam tentara. Namun warna khaki ini juga popular untuk berbagai perlengkapan, seperti terpal mobil jip berwarna khaki, jas hujan berwarna khaki, sepatu bot berwarna khaki dan sebagainya.
Saya ingin menggugat pengindonesiaan kata “khaki” ini menjadi “kaki”. Alasan utamanya tentu karena “kaki” sudah memiliki makna tersendiri, sehingga menyebutkan istilah “celana kaki” terasa sangat lucu, seolah-olah kita tidak paham bahwa celana itu memang untuk kaki. Ini sama dengan “kasus” kata “chaos” yang diindonesiakan menjadi “kaos” di Kompas beberapa waktu berselang. Jadi, saya sangat teguh berpendapat bahwa bilamana akan diserap ke dalam bahasa Indonesia, harus tetap dieja dengan menyertakan huruf “h” yaitu menjadi “khaki”.
Penyerapan kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia memang masih balau, utamanya karena masing-masing orang ingin mengikuti seleranya sendiri. Salah satu contoh yang membingungkan misalnya, istilah Inggris “domain, complain, detail” diindonesiakan menjadi “domain, komplain, detail”, namun istilah “retail” diindonesiakan menjadi “ritel” dan ”mail list” diindonesiakan menjadi “milis”. Sesungguhnya kata-kata yang diserap ini memang sudah ada padanan Indonesianya, kata “domain” berpadan dengan “ranah”, kata “detail” berpadan dengan “rincian”, kata “ritel” berpadan dengan “eceran” dan sebagainya.
Kecenderungan English-minded ini kadang-kadang terasa kebablasan, misalnya di media massa, kata “bakau” sekarang diganti dengan “mangrove”, kata “air raksa” diganti dengan “merkuri”. Inilah tulisan sederhana mengenai hal yang sederhana pula, namun harapan saya mudah-mudahan memberi manfaat bagi kita sekalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H