Hari-hari belakangan ini, di tengah-tengah ingar bingar DPR, banyak disebut perlunya dikedepankan “musyawarah” dan tidak serta-merta mengambil langkah voting. Mungkin tebersit dalam benak kita, mana yang baku istilah “musyawarah” atau “musyawarat”? Hal senada dapat diperpanjang dengan mempertanyakan perbedaan antara “jemaah” dan “jemaat”, “ibadah” dan “ibadat”, “amanah” dan “amanat”, “hidayah” dan “hidayat”, “syariah” dan “syariat”, "hikmah" dan "hikmat", "berkah" dan "berkat" dan seterusnya. Semua kosakata ini merupakan serapan (loanwords) dari bahasa Arab, dan setelah ditelusuri kedua pasangan-pasangan kata di atas sesungguhnya sama maknanya.
“Dualisme” kata-kata ini terjadi karena adanya perbedaan dengan tatabahasa Arab yang dinamakan dengan ta marbutah, yang memungkinkan sebuah kata dilafalkan dengan akhiran –ah atau –at. Kata ini dilafalkan –ah bilamana tidak mempunyai akhiran (suffix) dan dilafalkan –at bilamana mempunyai akhiran. Ta marbutah sendiri adalah bentuk feminim (perempuan). Misalnya kata “zawjah” (dilafalkan dengan akhiran –ah, maknanya “isteri”) dan “zawjati” (dilafalkan dengan akhiran –at, artinya “isteriku”). Pada saat terjadi penyerapan ke dalam bahasa Melayu, ta marbutah mengalami metamorfosa yang unik. Ada yang diserap menjadi berakhiran –ah, ada yang diserap menjadi berakhiran –at, ada yang diadopsi kedua-duanya (baik akhiran –ah dan –at) namun berbeda “scope” (wawasannya).
Misalnya, ada istilah “jemaah haji” dan “jemaat gereja”, “ibadah umroh” dan “ibadat salib”. Ada semacam eksklusisme pemakaiannya, meskipun sesungguhnya maknanya sama. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, saya melihat banyak hal yang membingungkan. Misalnya pada kata “musyawarah” (ini yang baku), namun seperti yang kita lihat sendiri pada kepanjangan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), justru “musyawarat” (yang tidak baku) yang dipakai. Istilah “muslimah” misalnya tidak ditemukan pada KBBI, dan cuma ada lema “muslimat”.
Tidak selamanya kata-kata yang diserap dari bahasa Arab ini, punya dua bentuk (akhiran –at dan –ah). Ada yang cuma berlaku dengan akhiran –at saja, misalnya kata “umat, rakyat, istirahat, hakikat”. Ada yang cuma berlaku dengan akhiran –ah saja, misalnya “mukadimah, majalah, masalah, nafkah, khazanah”. Sejumlah kata bahkan diberi nuansa makna yang berbeda di KBBI, misalnya pada kata “amanat” dan “amanah”. Di situ, “amanah” didenotasikan sebagai “sesuatu yang dipercayakan”, sedangkan ‘amanat” didenotasikan sebagai “pesan, perintah, wejangan”. Saya pernah membaca di suratkabar frasa kalimat “Ini adalah amanat dari orangtua saya”. Terus terang, saya sedikit bingung, manakah yang benar “amanah orangtua” atau “amanat orangtua”. Akronim “Ampera” sudah kita sepakati sebagai kependekan dari “Amanat Penderitaan Rakyat”, namun kalau dipikir-pikir lagi mungkin lebih pas kalau kita maknai sebagai “Amanah Penderitaan Rakyat”.
*Disarikan dari beberapa sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H