Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT, Salah Kita Semua

28 Februari 2016   17:12 Diperbarui: 28 Februari 2016   17:24 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya, saya paling malas latah membahas soal LGBT. Pertama, LGBT sungguh bukan masalah orang Indonesia, dan dia adalah “issue” masyarakat di negara Barat yang “bergolak” menginginkan persamaan hak, baik secara sosial maupun hukum. Kedua, LGBT adalah fenomena yang kausanya belum sepenuhnya diketahui oleh manusia, apakah dia genetik (memang sudah terlahir demikian) ataukah pengaruh lingkungan.

Tak terhitung teori yang dikemukakan oleh para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu tentang penyebab LGBT, namun kita tetap skeptis (sangsi). Dua alasan utama ini sebetulnya membuat saya “enggan” menulis tentang LGBT. It is just a waste of time. Kalau sekarang saya toh juga menulis tentang LGBT, anggaplah ini sebagai tulisan yang ringan belaka, tidak berbobot dan jauh dari ilmiah.

Mengapa saya memberi judul “LGBT, Salah Kita Semua” pada tulisan ini? Karena itulah fakta yang sebenar-benarnya. Dibandingkan dengan milenium (seratus tahun) sebelumnya, batasan feminisme dan maskulinisme dewasa ini sudah amat tipis. Sekarang, pria yang berdandan – yang disebut dengan metroseksual - sudah sangat jamak. Mereka ke salon untuk menghaluskan kulit, untuk menata rambutnya, untuk operasi plastik wajah, suatu domain yang dahulu kala ekslusif milik perempuan.

Di zaman dahulu, berlaku pemeo “boys will be boys”. Anak laki sudah “didoktrinasi” sedari dini bahwa dia harus jantan (macho), tidak boleh menangis apapun penyebabnya, harus berani berkelahi terutama untuk mempertahankan harga diri lelaki, dia juga diberi mainan (toys) yang memberikan identitasnya sebagai lelaki, seperti pedang-pedangan, pistol-pistolan dan miniatur alat perang lainnya. Seorang lelaki tabu untuk masuk dapur, berpakaian T shirt yang kenes (seperti V neck) dsb.

Belum lagi soal gestur, pria sejati di zaman dahulu digambarkan mempunyai suara bariton yang tegas seperti John Wayne, bintang film cowboy, di bibirnya terselip rokok. Bandingkan dengan citra lelaki zaman kini, yang kalau berbicara sangat lembut menyerupai wanita. Tak jarang kita menjumpai lelaki yang berbicara dengan lisping meskipun dia bukan seorang gay.

Di sisi lain, image wanita di zaman dahulu sudah sirna dan berganti sesuai dengan emansipasi yang diperjuangkannya. Dahulu kala, tabu bagi perempuan untuk mengenakan celana pantalon (celana panjang) atau kemeja pria. Wanita juga ditabukan menggeluti olahraga lelaki. Apalagi kalau di masa kanak-kanaknya, dia suka memanjat pohon, bermain perang-perangan dengan anak-anak laki, pasti akan dimarahi oleh ibunya sebagai “unladylike”. Coba kita lihat saja di zaman sekarang, bahkan Agnez Mo dengan bangganya memperlihatkan otot biseps dan sixpack hasil dari latihan body building. Dan bukan cuma Agnez Mo saja yang merambah olahraga domain pria ini, tetapi banyak wanita muda lainnya di dunia yang dengan tanpa malu mempertontonkan kekekaran body-nya.

Ini sesungguhnya adalah sebuah revolusi seksual yang kurang kita sadari. Perbedaan citra (image) pria dan wanita semakin lama semakin mengabur. Lantas siapa yang bisa kita salahkan? Baru-baru ini, sehubungan dengan kasus pelecehan seksual selebritas SJ, maka KPI mengeluarkan “arahan” kepada semua stasiun televisi untuk tidak menyiarkan tayangan di mana ditampilkan sosok laki-laki yang berpakaian wanita, berperilaku wanita, berbicara seperti wanita dan sebagainya. Akankah langkah KPI ini akan menghindarkan generasi muda dari kehilangan orientasi seksualnya?

Saya sangat meragukannya. Mengapa? Karena fenomena di mana batasan pria dan wanita yang mengabur ini sudah terlanjur terjadi dan sudah menjadi keniscayaan. Coba kita cermati berapa banyak host atau anchor (pembaca berita) pria di televisi yang gaya bicaranya kewanita-wanitaan? Apakah dokter Boyke juga akan dilarang mengisi acara di televisi karena gaya bicaranya yang lisping? Apakah seniman tari Didik Nini Thowok akan di-blacklist dan diblokir karena mengenakan busana wanita dan bergaya wanita? Seni tradisional ludruk di mana pemain pria memerankan wanita juga akan menjadi korbannya.

Jadi, saya setuju dengan ucapan Arswendo sehubungan dengan ribut-ribut soal LGBT ini. Kita semua ini menjadi seorang hipokrit men-judge LGBT, oleh karenanya kita semua salah. Baik juga kita cermati negara-negara yang sudah “melegalisasi” LGBT ini. Di sana nyaris tidak ada gejolak apa pun. Mengapa? Karena masyarakat di sana menyadari bahwa LGBT sudah ada sejak dahulu kala, dan populasinya tidak akan bertambah atau berkurang dengan adanya kampanye pro atau pun anti LGBT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun