[caption id="attachment_88966" align="aligncenter" width="600" caption="(ilust nyt.com)"][/caption]
Siapa yang tidak tahu novel klasik ‘Moby-Dick’? Dia adalah fiksi buah pena Herman Melville yang berkisah mengenai dendam kesumat antara kapten Ahab dengan ikan paus raksasa yang bernama Moby-Dick. Di dalam kesempatan sebelumnya, ikan paus sperma ini menyerang kapal yang dinakhkodai oleh kapten Ahab dan menggigit putus kaki sang kapten. Dengan dendam yang membara, kapten Ahab didampingi kelasi Ishmael melanglang samudera untuk mencari dan membunuh ikan paus ini. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa fiksi yang ditulis pada tahun 1851 ini, diilhami oleh kisah nyata seorang kapten kapal penangkap ikan paus bernama George Pollack,Jr yang menghebohkan dan mengguncang jiwa pada zaman itu.
Pada awal abad 19, Nantucket, sebuah pulau di Massachusetts merupakan pusat armada kapal penangkap paus terbesar di dunia. Paus sperma (sperm whale) ini diburu untuk diambil blubber (lemak) dan spermaceti (zat seperti lilin berwarna putih di kepala paus yang menyerupai sperma) yang pada kala itu bernilai ekonomis yang tinggi. Pada tahun 1820, kapal penangkap paus bernama ‘Essex’ dipimpin kapten Pollack beserta 21 awak kapal bertolak dari Nantucket. Di samudera Pasifik, kapal ini diserang oleh ikan paus raksasa (panjang 26 meter) dengan ditabrak sebanyak dua kali. Kapal ‘Essex’ ini akhirnya terbalik dan karam. Kapten Pollack bersama anak buahnya berhasil menyelamatkan diri dengan tiga buah sekoci dan membawa persediaan makan dan minum yang diperkirakan cukup untuk 60 hari.
Namun karena posisi karamnya kapal tersebut di tengah hamparan luas samudera Pasifik yang berjarak ribuan mil dari daratan, kapten Pollack bersama kru kapalnya ternyata baru setelah tiga bulan lamanya terombang-ambing di lautan dapat diselamatkan. Bagaimana mereka dapat bertahan hidup selama itu, padahal ransum makanan sudah ludas dikonsumsi. Dalam kondisi kekurangan makan yang parah, mereka yang terlemah akhirnya meregang nyawa. Namun tidak seperti lazimnya tradisi pemakaman jenasah dengan ditenggelamkan ke dalam lautan, kapten Pollack harus mengalah pada desakan anak buahnya untuk melakukan kanibalisme dengan memakan mayat rekan mereka sendiri. Sampai akhirnya hanya tertinggal empat orang di dalam sekoci yang ditumpangi oleh kapten Pollack.
Dalam keadaan yang kritis ini, diputuskan bahwa salah seorang diantara mereka harus dibunuh untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Dengan berat hati kapten Pollack menyetujui untuk menarik undian dan vonis ini jatuh ke Owen Coffin, saudara sepupunya sendiri. Owen Coffin yang tatkala itu baru berusia 18 tahun, memang dititipkan oleh bibi Pollack untuk ikut dalam pelayaran menangkap paus. Undian selanjutnya ditarik untuk menentukan siapa yang akan melaksanakan eksekusi penembakan dan jatuh pada Charles Ramsdell. Dengan hati yang remuk redam, Pollack harus merelakan kepergian anak bibinya yang sudah dititipkan untuk dilindunginya itu. Dalam perjalanan waktu selanjutnya seorang lagi menyusul tewas, sehingga pada saat diselamatkan 93 hari setelah tenggelamnya kapal ‘Essex’, hanya tertinggal dua orang di sekoci kapten Pollack. Pada akhir penyelamatan seluruh anak buah kapal ini, tak kurang dari tujuh mayat rekan mereka sendiri yang dikonsumsi sampai tertinggal tulang-belulangnya.
[caption id="attachment_88968" align="aligncenter" width="585" caption="(ilust globe.com)"]
Seorang rekan Pollack yang juga selamat dari kapal ‘Essex’ bernama Owen Chase menulis kisah tragis tenggelamnya ‘Essex’ karena hantaman ikan paus, yang kemudian menjadi inspirasi bagi Herman Melville untuk mengarang novel ‘Moby-Dick’. Juga rekan seperjuangan Pollack lainnya bernama Thomas Nickerson menuliskan karangan serupa yang entah karena apa, baru ditemukan manuskripnya seratus tahun kemudian dan diterbitkan pada tahun 1984. Kalau Herman Melville namanya menjadi abadi karena menuliskan ‘Moby-Dick’, maka kedua penulis yang menjadi saksi mata kejadian tersebut namanya justru hilang ditelan masa.
Dan berita terbaru dalam bulan Februari ini, tim penyelam arkeologi maritim secara kebetulan berhasil menemukan bangkai dan reruntuhan kapal ’Two Brothers’ di dasar samudera Pasifik. Di dekat bangkai kapal itu masih dapat disaksikan harpoons dan lances (tombak ikan paus), tiga jangkar, juga cauldron (tungku) untuk merebus daging paus menjadi lemak. Dengan ditemukannya ‘Two Brothers’ ini, ingatan kita dibangkitkan kembali akan kisah tragis Pollack yang ketiban kutukan ganda (twice doomed).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H