Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kasus 'Shaken Baby Syndrome'

2 Maret 2011   09:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:08 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12990622351875864575

[caption id="attachment_93963" align="aligncenter" width="680" caption="Noah Whitmer dan orangtuanya (ilust nytimes.com)"][/caption]

Waktu membaca berita di The New York Times tentang kasus shaken baby syndrome, saya sungguh ternganga hampir tak percaya. Shaken baby syndrome dimaknai sebagai salah satu bentuk child abuse (penyiksaan anak) dengan cara mengguncang-guncang bayi itu dengan keras. Umumnya yang mengalami shaken baby syndrome (SBS) ini adalah bayi di bawah usia satu tahun dan guncangan yang kuat ini biasanya dilakukan oleh orangtuanya sendiri atau pengasuhnya karena perasaan kesal menghadapi bayi yang menangis tiada habisnya. Namun tindakan yang seolah-olah tidak berbahaya ini, ternyata dapat mengakibatkan kerusakan otak permanen, cedera fatal pada syaraf tulang belakang (spinal cord), perdarahan pada retina mata (sehingga menyebabkan kebutaan) bahkan kematian pada bayi.

Kasus yang menimpa Noah Whitmer, anak dari pasangan Michael dan Erin Whitmer menambah daftar panjang kasus SBS yang mulai menjadi kesadaran masyarakat sejak tahun 1980an. Sebelum masa itu, dokter sering kebingungan menangani kasus child abuse ini, karena pada tubuh bayi tersebut tidak ditemukan memar, luka bakar ataupun retak tulang sebagai petunjuk telah terjadi penganiayaan. Hasil penelusuran lebih mendalam, khususnya dengan CT Scan, menunjukkan gambaran yang spesifik SBS ini, yaitu perdarahan pada rongga antara otak dan tulang tengkorak (subdural haemorrage), perdarahan di belakang bola mata (retinal haemorrage) dan pembengkakan otak (brain swelling). Nyawa bayi Noah (yang pada saat kejadian berusia empat bulan) masih bisa diselamatkan, namun dia mengalami kecacatan otak yang cukup parah.

Bayi usia dibawah satu tahun masih memiliki otot leher yang lemah dan ukuran kepala yang secara proporsional besar dibandingkan dengan tubuhnya. Mengguncang-guncang keras pada pundaknya yang dilakukan oleh orang dewasa (shaking) akan memberikan efek whiplash injury (cedera leher seperti waktu mobil bertabrakan dalam kecepatan tinggi, di mana leher terdorong ke depan, kemudian tertolak ke belakang tanpa adanya penahan kepala). Kondisi ini diperparah lagi, karena pada bayi antara otak dan tempurung tengkoraknya masih terdapat rongga, sehingga goncangan yang kuat dapat mengakibatkan gegar otak (contusion) dan sobeknya pembuluh darah di dalam otak.

Kasus bayi Noah ini menjerat Eliana Rueda, pengasuh bayi pada tempat penitipan anak (day care). Pada hari yang naas itu, 20 April 2009, bayi Noah nampak sedikit rewel dan menangis. Menurut penuturan Rueda, melihat bayi ini menangis, maka dia mengangkatnya ke sofa dan memberikan susu botol dengan harapan bayi ini akan tertidur. Namun tiba-tiba bayi ini menjadi lunglai dan mengeluarkan suara seperti sesak nafas. Dia segera memberikan pernafasan buatan (resusitasi) dan menelpon 911. Penuturan versi ibu kandung Noah berdasarkan testimoni dokter memang bertolak belakang. Menurut Erin Whitmer, si ibu, pada hari itu bayinya menangis mungkin merasa bosan dibaringkan tanpa ada yang memperhatikan dan karena kesal mendengar tangisan yang tidak hentinya itu, Rueda mengangkatnya dan kemudian mengguncang-guncangkannya dengan keras.

Pada saat Noah sampai di rumah sakit, dia sudah dalam keadaan koma. Hasil pemeriksaan dokter dengan MRI dengan jelas menunjukkan tiga gejala khas dari shaken baby syndrome yaitu perdarahan subdural, perdarahan retinal dan memar otak. Dokter juga melaksanakan tes laboratorium untuk kelainan pembekuan darah (clotting disorder) yang biasanya menyebabkan perdarahan, namun hasil lab menunjukkan negatif. Dari sinilah dokter menerangai dan menduga kuat bahwa Noah sudah diguncang-guncang dengan keras, sebelum dia mengalami gagal nafas. Sehari setelah kejadian itu si pengasuh Rueda, ditangkap dengan tuduhan penyiksaan anak.

Hampir 25 persen kasus shaken baby syndrome ini berakhir dengan kematian bayi. Nyawa Noah memang berhasil diselamatkan, namun dia mengalami kecacatan permanen baik pada otak dan matanya. Selama setahun setelah kejadian tragis ini, bayi ini mengalami kekejangan (seizure) yang mencapai sampai 32 kali dalam sehari. Dia juga diharuskan tidur dalam posisi berdiri untuk men-drain genangan darah di sekitar bola matanya. Sekarang Noah sudah berusia dua tahun, namun dia masih belum bisa berbicara dan prognosis kemampuan kognitifnya sangat memprihatinkan. Baru setelah setahun menjalani terapi ketogenik yang ketat, Noah terbebas dari kejang-kejang. Menurut data kesehatan di AS, ada sekitar 200 kasus shaken baby syndrome per tahunnya, seperempat dari jumlah itu mengakibatkan cacat otak dan mata permanen dan seperempat lagi berakhir dengan kematian bayi.

Mengguncang-guncang bayi ini tentu tidak sama dengan mengayun-ayunkan bayi dengan kaki atau menggoyang-goyang dengan lembut untuk bermain-main. Namun sangatlah bijak untuk menyimak rekomendasi berikut ini : Jangan sekali-kali mengguncang-guncang bayi maupun balita, apalagi di saat Anda sedang marah, jangan menggendong bayi bilamana anda sedang bertengkar, jangan menghukum atau mendisiplinkan anak dengan cara mengguncang-guncang pundaknya dan bilamana Anda bersifat mudah marah (short temper), serahkan pengasuhan bayi ini pada orang lain yang lebih kompeten. Ada beberapa kasus ringan yang mirip SBS pada bayi yang digendong di punggung (pada backpack) dan diajak ikut jogging. Namun gejalanya hanya ringan saja dan sangat jauh berbeda dengan shaken baby syndrome yang sudah ditetapkan sebagai bentuk kekerasan pada anak (child abuse).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun