Hari ini, di televisi kita menyaksikan pasangan capres/cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla memulai menjalankan serangkaian tes kesehatan (medical checkup) di RSPAD. Sehat jasmani dan rohani memang merupakan salah satu persyaratan yang diundangkan bagi calon presiden dan wakil presiden. Seperti yang sudah dilaksanakan selama ini, capres dan cawapres akan di-keur (bahasa Belanda ‘keuren’ artinya ‘diuji kelaikan kesehatan’) untuk mengemban tugas sebagai presiden/wakil presiden. Namun pada kali ini, saya cenderung mengatakan bahwa tes kesehatan ini sekadar formalitas saja dan hasilnya sudah bisa diramalkan yaitu “semua kandidat lulus kesehatan”.
Apa pasalnya? Tak lain, karena pada kali ini kandidat presiden/wakil presiden cuma ada dua saja. Tak terbayangkan kalau hasil tes kesehatan ini berisikan rekomendasi ketua tim rikkes (pemeriksaan kesehatan) bahwa capres A atau capres B dinyatakan tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Pihak KPU yang menerima hasil rikkes beserta rekomendasi memang mempunyai wewenang penuh untuk menggugurkan/tidak mengugurkan kandidat presiden karena alasan kesehatan. Namun “tidak lucu”, kalau sampai hal ini terjadi, di mana salah satu calon digugurkan atau bahkan keduanya digugurkan. Kalau salah satunya digugurkan, jelas pemilu tak perlu diadakan, karena calon presidennya tunggal. Kalau sampai keduanya digugurkan, lebih parah lagi, kita bakal tak punya presiden lima tahun ke depan.
Jadi tim kesehatan RSPAD cuma bisa berdoa (have their fingers crossed) mudah-mudahan tak ada masalah kesehatan serius pada keempat calon yang diperiksa ini. Sesuai dengan sumpah dokter, hasil pemeriksaan kesehatan ini memang ditulis apa adanya dan tak boleh sekali-kali ada rekayasa (fabrication). Dokter juga tidak memutuskan bahwa kelainan/penyakit yang ditemukan pada calon membuatnya gugur. Yang diberikan oleh tim dokter hanya keterangan “memenuhi syarat/tidak memenuhi syarat” sesuai dengan kriteria kesehatan yang disusun bagi capres/cawapres.
Pihak KPU setelah menerima masukan ini akan memberikan kata akhir. Memang pada skenario terburuk ini, KPU masih memiliki wewenang yang dinamakan waivering (pengabaian/pengecualian dari peraturan yang berlaku). Pengalaman pada penerimaan tentara (bahasa Belanda: werving, bahasa Inggris: recruitment, enlisting) yang saya alami, calon tentara yang bermasalah kesehatan yang “fatal” pun bisa di-waiver oleh Panglima sebagai pemangku kepentingan. Dalam kasus seperti ini, para dokter militer yang terlibat dalam rikkes ini cuma bisa berdoa (sekali lagi have their fingers crossed) semoga calon yang sudah dinyatakan “tidak memenuhi syarat kesehatan” ini, tidak mengalami kejadian yang fatal selama menjalani pendidikan militer yang cukup keras dan berat. Memang ada kejadian calon tentara yang bahkan meninggal selama menjalankan pendidikan karena masalah kesehatan ini. Kalau hal ini terjadi karena tim kesehatan luput (kecolongan) mendeteksi kelainan pada rikkes, maka sudah pasti jajaran kesehatan militer akan “digantung” oleh Panglima. Sebaliknya, kalau kasus kematian dalam pendidikan ini, sudah ada dalam catatan medis namun di-waiver oleh Panglima, tim kesehatan juga akan “kena semprot” karena tidak teguh memberi argumentasi kepada Panglima.
Kembali ke masalah tes kesehatan pada capres dan cawapres 2014, saya melihat ada yang karikaturis di sini. Calonnya cuma ada dua, sehingga mau tak mau, hasil tes kesehatan keduanya harus bagus. Berbeda dengan pemilu presiden 2004, di mana kandidat presiden ada lima, sehingga waktu Gus Dur digugurkan, tak masalah karena masih ada sisa empat calon. Lha, pada tahun 2014 ini, dengan hanya dua calon saja, terasa prosedur tes kesehatan yang cukup mahal ini (75 juta rupiah per orang) hanyalah sekadar formalitas belaka. Mana mungkin ada anggota tim kesehatan yang berani menulis TL (tidak lulus) bila menemukan kelainan yang fatal pada calon presiden, kalau tidak ingin “benjut” ditimpuki batu oleh kedua pendukung capres yang sama-sama fanatik ini. Ya, “diatur saja”, ini jargon khas Indonesia yang kurang lebih memadani kata formalitas tadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI