Satu dua hari belakangan ini, kita membaca sebuah berita yang memang tidak seheboh dan sebombastis berita “Fitsa Hats”, tetapi sesungguhnya perlu dijadikan model untuk mencerdaskan publik tentang bagaimana mencerna sebuah berita. Hampir semua media Indonesia, baik media online, media cetak, media elektronik memberitakan tentang “Pembekuan kerja sama militer dengan Australia karena menghina Pancasila” (judul bervariasi tapi konteksnya sama). Namun anehnya dalam isi berita sama sekali tidak diperinci secara mendetail bentuk penghinaan Pancasila itu seperti apa. Padahal, ini segmen berita yang paling penting untuk diketahui pembaca berita yaitu dalam bentuk/ujud apa Pancasila itu dihina. Seolah pelansir berita mau mengatakan, “Pokoknya penghinaan. Titik! dan kita disuruh menelan bulat-bulat begitu saja tanpa boleh bertanya duduk perkara sebenarnya.
Di dalam berita ini, secara samar-samar disebutkan ada anggota Kopassus yang sedang menjalankan latihan militer bersama di Australia yang menemukan tulisan di markas militer mereka yang menghina Pancasila. Tak ada penjelasan lebih lanjut, apakah tulisan ini berbentuk buku, leaflet, baliho atau pun grafiti yang suka dicoret di toilet. Juga tak ada penjelasan apakah ini tulisan resmi dari institusi Angkatan Bersenjata Australia atau hanya tulisan perorangan. Namun, yang paling membingungkan sidang pembaca, tidak ada pemaparan secuil pun “bentuk penghinaan terhadap Pancasila” seperti apa. Pembaca disuruh berkhayal dan berfantasi sendiri “penghinaan Pancasila” menurut asumsi masing-masing.
Belakangan, lantas ada penjelasan dari Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo bahwa yang dimaksud dengan penghinaan terhadap Pancasila adalah pemelesetan kata Pancasila menjadi Pancagila. Tanpa diperinci lebih jauh siapa yang memelesetkan, media apa yang dipakai untuk pemelesetan ini, di mana tulisan pemelesetan ini ditemukan, dan juga pangkat (apakah perwira, bintara, atau tamtama) anggota Kopassus yang menemukan tulisan pemelesetan tersebut.
Jadi, ibarat mau diterangi dia cuma diberi lampu 5 watt saja. Namun yang paling absurd, setidaknya bagi saya pribadi, adalah penjelasan bahwa di institusi angkatan bersenjata Australia ada oknum yang memelesetkan Pancasila menjadi Pancagila. Bisakah ini diterima dengan nalar yang sehat? Sungguh sangat nonsens ada tentara Australia yang begitu sintingnya sengaja menghina ideologi bangsa kita dengan memelesetkan Pancasila menjadi Pancagila.
Sebelum saya kupas perihal ini lebih jauh, saya ingin menggarisbawahi betapa berbahayanya berita yang dipotong-potong atau dipenggal entah disengaja maupun tidak disengaja. Kita cermati dan analogikan dengan berita pidato Gubernur Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu yang berujung dengan dakwaan penistaan agama. Berita yang dilansir (khususnya di media sosial) adalah Gubernur Basuki telah melakukan penistaan Alquran pada pidato di Kepulauan Seribu.
Hanya itu saja, tanpa diperinci (dielaborasi) bentuk penistaannya seperti apa, dalam konteks apa dan argumentasi mengapa ini dapat dikategorikan sebagai penistaan agama. Publik yang memang belum terbiasa mengkritisi sebuah berita yang tidak lengkap, langsung menelan bulat-bulat berita cacat ini. Pokoknya ada penistaan agama. Apa duduk perkara sebenarnya tak penting lagi dibahas. Perimbangan berita yang seharusnya menjadi kredo para insan pers justru dijungkirbalikkan dan dikhianati oleh mereka sendiri.
Saya ingin kembali pada bahasan pemberitaan penghinaan Australia dengan memelesetkan Pancasila menjadi Pancagila. Penjelasan logis (logical explanation) apa yang bisa diberikan tentang insiden ini? Sebagai mantan perwira TNI-AD, saya bisa menganalisa sebagai berikut. Harap dicatat sebelumnya bahwa analisa saya ini mungkin saja meleset. Sudah menjadi kelaziman antar negara untuk mengadakan kerjasama militer. Kita menerima anggota militer negara lain untuk ikut dalam latihan militer atau pendidikan militer dan sebaliknya negara-negara lain juga menerima personel militer kita untuk menimba ilmu kemiliteran di sana.
Siswa militer asing ini mengikuti pendidikan bersama dengan siswa militer “asli” sesuai dengan kurikulum tanpa dibedakan. Ada bidang utama kemiliteran yang dipelajari yaitu bidang intel (S1), bidang operasi (S2), bidang personil (S3), bidang logistik (S4), dan bidang sosial politik (S5). Siswa asing diizinkan mengikuti semua kuliah bidang ini, tetapi dengan satu pengecualian. Manakala bidang-bidang ini membahas tentang rahasia kemiliteran negara setempat (biasanya pada bidang intel dan bidang sosial politik), maka siswa asing akan dialihkan ke kelas yang membahas masalah lain yang tidak termasuk classified atau confidential.
Apakah yang dibahas pada mata kuliah classified di angkatan bersenjata Australia tentang Indonesia? Ya, tentu saja tentang pelanggaran HAM di Timtim, tentang radikalisme agama di Indonesia, tentang hakekat ancaman Indonesia terhadap Australia dan sebagainya. Ini sebenarnya juga berlaku bagi siswa militer Australia yang mengikuti pendidikan di Indonesia. Kalau ada mata kuliah yang membahas hal-hal yang sensitif, maka dengan cara halus siswa asing ini “dikeluarkan” dari kelas untuk mengikuti kegiatan lain.
Di sinilah saya membayangkan ada personel Kopassus yang sedang menjalankan joint training kebetulan mendapat “bocoran” dari buku hanjar (bahan pelajaran) yang di dalamnya menyinggung soal Pancagila ini. Bahasan tentang hal ini tentu saja dalam Bahasa Inggris. Saya yakin ada kesalahan menangkap dari personel Kopassus dari kajian berbahasa Inggris ini. Pemelesetan Pancasila menjadi Pancagila seingat saya sudah pernah dilontarkan oleh oknum ormas tertentu beberapa tahun yang lalu. Kemungkinan besar yang dibaca oleh anggota Kopassus ini adalah kajian militer Australia tentang radikalisme ormas tertentu yang mengolok-olok Pancasila menjadi Pancagila. Ini saya pikir penjelasan logis yang paling mungkin bisa diterima.
Mengapa Panglima TNI tidak blak-blakan saja menjelaskan duduk perkaranya? Saya pikir ini karena awkwardness (rasa serba salah). Berita soal penghinaan Pancasila sudah telanjur beredar dan tidak mungkin ditarik kembali. Buku kajian tentang Pancasila di kurikulum militer Australia (yang bernada negatif di mata kita) memang ada tetapi itu untuk konsumsi mereka sendiri, sebagaimana militer Indonesia juga mempunyai kajian tentang Australia yang juga berpredikat negatif. Di sinilah rasa canggung Panglima TNI, sehingga beliau tidak secara gamblang mengungkap the real truth (beliau menggunakan istilah ‘yang tidak perlu saya jelasnya di sini’).