Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

'Glass Ceiling': Diskriminasi Bagi Wanita

7 Desember 2011   06:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43 1657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_147924" align="aligncenter" width="608" caption="(ilust holykaw.alltop.com)"][/caption]

Pernahkah Anda mendengar cerita seorang eksekutif wanita yang berprestasi hebat tetapi tidak mungkin dipromosikan menjadi CEO karena alasan yang tidak tertulis dan terselubung yakni dia berjender perempuan. Atau perwira wanita cemerlang dalam angkatan bersenjata yang ‘mentok’ kariernya untuk menjadi seorang jenderal, karena ada ‘peraturan tak tertulis’ yang menghambatnya untuk mencapai jabatan tertinggi. Atau bahkan cerita seorang wanita berpendidikan tinggi yang ‘dilarang’ suaminya untuk bekerja meniti profesi, karena ada paradigma sosial yang mengatakan bahwa kedudukan wanita harus berada di rumah tangga, mengurus dan membesarkan anak.

Inilah kurang lebih gambaran fenomena sosial budaya yang dinamakan glass ceiling, yang makna harfiahnya adalah ’plafon atau langit-langit kaca’. Di dalam menapak tangga karier, semua orang (laki-laki maupun wanita) tentu bercita-cita akan mencapai posisi puncak dalam suatu organisasi perusahaan. Setingkat demi setingkat anak tangga jabatan akan ditempuhnya dengan perhitungan setelah sekian tahun dia akan berada pada jenjang karier tertentu. Secara tersurat memang tidak ada ketentuan yang mengatakan karyawan wanita tidak dimungkinkan untuk meraih posisi puncak, namun realita yang ada menunjukkan hal yang sebaliknya. Dan inilah metafora yang melukiskan kendala bagi wanita dalam berkarier : dia boleh menapak anak tangga sambil memandang setinggi-tingginya, tetapi baru sampai di plafon (ceiling) sudah terhambat oleh dinding kaca. Dia bisa melihat menembus langit-langit kaca itu, tapi tak mungkin mencapai tempat yang tinggi itu.

Istilah glass ceiling ini pertama kali dikalamkan oleh Gay Bryant pada suatu artikel di Adweek pada tahun 1984. Istilah ini kemudian menjadi leksikon Amerika setelah ada tulisan di Wall Street Journal pada tahun 1986 tentang barikade tak nampak yang menghalang-halangi peningkatan karier wanita di jajaran angkatan kerja Amerika (invisible barriers that impede the career advancement of women in the American workforce). Istilah ini bahkan ditanggapi secara serius oleh Kementerian Tenaga Kerja AS dengan membentuk suatu badan kajian pada tahun 1991. Temuan dari komisi ini mengonfirmasikan adanya glass ceiling barrier (hambatan langit-langit gelas) pada pekerja wanita bahkan sudah dimulai pada awal-awal kariernya. Istilahnya, sesama pekerja laki-laki sudah jauh melejit kariernya, sementara pekerja wanita itu masih tetap berada di posisi terendah. Menurut komisi ini, glass ceiling ini utamanya disebabkan karena sikap stereotyping, prejudice, dan bias jender (memandang kedudukan wanita yang lebih rendah daripada pria secara sadar ataupun tidak sadar).

Ada banyak contoh-contoh kasus glass ceiling ini. Di dunia kedokteran, beberapa spesialisasi medis tertentu seperti dokter bedah atau dokter obstetrik ginakologi ‘tertutup’ untuk dokter wanita, karena dianggap sebagai domain dokter laki-laki. Juga ada kecenderungan untuk memilah jenis pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (sex-typed). Laki-laki mendominasi pekerjaan dengan penghasilan (income) top seperti supervisor, manajer, eksekutif dan sebagainya, sementara wanita direpresentasikan dalam kelompok kerja paling bawah seperti sekretaris, guru, perawat, dan sebagainya. Ilustrasi yang paling menonjol adalah pada saat Hillary Clinton akan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden AS, di mana ternyata masih banyak kaum lelaki yang ‘tidak merestuinya’. Gagalnya Hillary Clinton maju sebagai calon presiden dari partai Demokrat juga sedikit banyak dipengaruhi oleh mentalitas glass ceiling yang masih dianut dalam masyarakat AS.

Setakat dengan istilah glass ceiling, kemudian lahirlah istilah-istilah senada sesuai dengan hambatan dalam profesi yang digeluti wanita dan juga golongan minoritas lainnya. Misalnya ada istilah brass ceiling, yaitu hambatan karier yang menghadang prajurit karier wanita dan polisi wanita di ranah yang didominasi oleh kaum lelaki ini. Brass ini adalah sebutan untuk tanda pangkat yang dipasang di pundak yang dahulu kala terbuat dari kuningan (brass). Ada pula istilah bamboo ceiling mengacu pada hambatan karier yang dialami kelompok minoritas keturunan Asia di AS dengan alasan yang dibuat-buat seperti tidak mempunyai potensi kepemimpinan (lack of leadership potential) atau kemampuan komunikasi yang rendah (inferior communication ability) misalnya dalam berbahasa Inggris. Juga ada istilah celluloid ceiling untuk menggambarkan hambatan karier yang dialami oleh eksekutif wanita di dunia film (celluloid adalah gulungan film yang diputar pada pertunjukan bioskop).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun