[caption id="attachment_163516" align="aligncenter" width="628" caption="(ilust k9newsrevival.com)"][/caption]
Setiap orang pasti mempunyai gaya bahasa dan warna bahasa tersendiri, sekalipun sama-sama menggunakan bahasa Indonesia. Acapkali kita malah bisa langsung menebak identitas si pengucapnya hanya dari mendengar suara dan langgam bahasanya. Barangkali kita kurang menyadari bahwa gaya bahasa ini ternyata dapat membuat jengkel, kesal dan terusik. Ungkapan-ungkapan ini bukanlah kata-kata makian atau kata-kata jorok. Dia adalah ekspresi bahasa biasa saja, namun tak jarang membuat kita mengalami bad mood. Tentu kita tak mungkin mendamprat si pengucap, karena dia sama sekali tidak sedang mengumpat, menyindir atau mengolok kita. Dan yang lebih dilematis lagi, gaya bahasa yang menjengkelkan ini sangat individual sifatnya. Mungkin tidak menyenangkan di telinga Anda, tetapi tidak demikian pada orang lain.
Coba Anda simak beberapa contoh gaya bahasa yang dimaksud. Anda menanyakan sesuatu yang simpel dan tidak bersifat pribadi kepada seseorang dan dijawab dengan : Itu tergantung. Inilah salah satu gaya bahasa yang menjengkelkan, karena kita diberi jawaban yang menggantung dan kita ’disuruh’ untuk meraba-raba sendiri maksudnya. Gaya bahasa lain yang juga membuat kesal adalah jawaban: Ini bukan persoalan setuju atau tidak setuju atau Ini bukan persoalan tahu atau tidak tahu terhadap pertanyaan ’Apakah Anda setuju dengan pernyataan beliau?’ dan ’Apakah Anda mengetahui kejadian ini?’ Ini adalah contoh gaya bahasa mengelak yang membuat hati mendongkol. Kalau Anda rajin menyimak talkshow di televisi, maka Anda akan cukup sering mendengar ungkapan yang konyol dan keblinger ini.
Gaya bahasa yang membuat sakit kuping lainnya adalah penggunaan ekpresi ’110 persen, 200 persen, 1000 persen’ dan sejenisnya terhadap pertanyaan yang ingin mengetahui pendapat atau keyakinan seseorang.Kendati jawaban ’100 persen setuju’ terdengar klise, namun paling tidak ungkapan ini masih menghormati kaidah berbahasa yang santun. Anda pernah mendengar wacana ’Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada beliau’ bla...bla....bla....? Sudah jelas-jelas kalimat lanjutannya diutarakan untuk menelanjangi kehormatan ’beliau’ ini, masih juga si pengucap bertopeng dan bercabang lidah dengan mengatakan ’tidak ingin mengurangi rasa hormatnya kepada si tersebut’.
Gaya bahasa yang cukup menjengkelkan berikutnya adalah gaya balik bertanya. Misalnya kalau kita bertanya ’Menurut pendapat bapak apakah hal ini dapat dibenarkan?’ dan dipingpong dengan jawaban: Menurut kamu bagaimana? Atau yang satu lagi ini. Pada saat seseorang ditanya ’Mengapa Anda ..... dst? dan dijawab dengan Mengapa tidak? Dan yang tak kurang mengesalkan adalah jawaban double negative, misalnya ungkapan saya bukan tidak menyetujui atau sangat sulit bagi saya untuk tidak mengatakan bahwa tidak ada money politics di situ. Double negative memang diucapkan untuk membuat si penanya nampak seperti orang tolol karena kebingungan untuk memaknai pernyataan itu.
Saya juga sering mengamati gaya bahasa seseorang yang suka mengobral kata ’terima kasih’ sekalipun tidak ada yang perlu diterimakasihi. Ini tentu ’very annoying’. Pertama, ini ungkapan kosong belaka, karena kita tidak memberi budi apa pun kepadanya sehingga patut menerima ucapan terima kasih. Kedua, ucapan ’terima kasih’ ini sering memosisikan kita ’lebih rendah’ daripada si pengucap. Anda pasti juga sudah tahu pejabat publik yang punya ciri khas sedikit-sedikit mengucapkan ’terima kasih’ di layar kaca. Saya juga mempunyai seorang kolega yang punya kelatahan mengatakan ’terima kasih’ di mana pun dan kapan pun. Setiap kali akan berpisah setelah mengobrol sejenak, dia tak lupa akan mengatakan ’terima kasih’. Karena sudah tak tahan lagi, pernah saya menukas dengan : Terima kasih untuk apa? Yang bersangkutan tak menjawab dan hanya nyengir-nyengir kuda saja.
Wacana yang juga membuat hati kesal adalah kebiasaan menggunakan frasa ’yes but’ (iya tetapi). Kalau berdiskusi dengan orang yang hobi mengatakan ’ya tetapi’ ini, dijamin kita akan naik pitam sampai ke ubun-ubun, karena setiap perkataan kita akan disanggahnya dengan ’ya tetapi’. Gaya bahasa pembawa acara di televisi juga sering membuat kesal. Misalnya dengan mengobral kata ’oke’ sampai ratusan kali dalam suatu sesi acara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H