Ilustrasi - rambu-rambu lalu lintas (kfk.kompas.com/Jeffri Manurung)
Baru-baru ini, ramai dibincangkan di medsos soal perdebatan antara seorang supir taksi dengan polisi lalu lintas mengenai pengertian rambu dilarang berhenti dan dilarang parkir. Si pengemudi taksi tidak terima dirinya ditilang, karena dia hanya menghentikan mobil taksi, sementara rambu yang terpasang di situ adalah tanda dilarang parkir. Dalam video yang sudah memviral terdengar ucapan supir taksi, "Saya nggak parkir, Pak. Saya tetap duduk. Saya engga parkir. Berhenti, tapi enggak parkir, Pak."
Intinya, si supir merujuk pada pasal-pasal UU Lalulintas nomor 22 tahun 2009 yang memberi definisi sebagai berikut: Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya sedangkan Berhenti adalah keadaan kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya. Polisi juga tetap pada pendiriannya dan malah terlontar kalimat, “Bapak ini ngeyel,” dan singkat cerita si supir taksi tetap ditilang.
Banyak netizen yang berpihak kepada bapak supir taksi dan mengolok-olok polantas itu sebagai petugas yang tidak tahu membedakan antara rambu dilarang berhenti dan dilarang parkir. Secara kasat mata, memang terlihat si supir menjadi korban kezaliman polisi yang “mau menang sendiri”. Namun benarkah persepsi yang sudah terbentuk ini? Untuk itu, ada baiknya kita melayangkan pandangan mata kita ke mancanegara bertalian dengan rambu lalulintas “dilarang berhenti” dan “dilarang parkir” ini. Apa yang saya baca mengenai definisi “dilarang berhenti” dan “dilarang parkir” di banyak negara di dunia cukup mengejutkan saja. Marilah kita simak.
Pengertian “dilarang berhenti” adalah “dilarang menghentikan kendaraan dalam segala situasi (termasuk menaikkan/menurunkan penumpang atau barang, sekalipun beberapa detik saja). Jadi pengertiannya cukup lugas. Yang menarik adalah pengertian dari “dilarang parkir” yang diberi penjelasan bahwa si pengemudi diperbolehkan berhenti untuk menurunkan/menaikkan penumpang atau barang namun dilarang berhenti sambil menunggu (waiting) datangnya orang atau barang.
Dengan kata lain, kalau sebuah kendaraan berhenti tanpa menurunkan/menaikkan orang atau barang, maka ini sudah dianggap parkir dan apabila ada rambu “dilarang parkir” di situ maka dia dapat ditilang. Perhatikan istilah “waiting” yang dalam dalam jargon kita disebut dengan “ngetem”. Jadi, kendaraan yang ngetem (menunggu beberapa waktu) sudah dianggap parkir, dan tidak mempersoalkan apakah kendaraannya ditunggui oleh si pengemudi atau ditinggal oleh si pengemudi.
Apakah hikmah yang bisa kita petik dari kasus debat supir ini? Bahwa filosofi “dilarang berhenti” dan “dilarang parkir” belum dihayati oleh khalayak ramai. Kedua larangan ini mempunyai filosofi untuk menghindarkan suatu ruas jalan dari kemacetan/gangguan kelancaran lalulintas. Karenanya, definisi pada UU Lalulintas di atas perlu segera diadakan koreksi/perbaikan. Berilah definisi “parkir” sebagai “keadaan kendaraan tidak bergerak dan tidak melakukan bongkar muat” (dalam bahasa Inggris disebutkan dengan ‘when the vehicle is stopped and not in use’). Jadi, tidak dipersoalkan lagi apakah si pengemudi tetap di dalam mobilnya atau meninggalkan mobilnya. Kalau definisi lama tetap dipakai, maka akan selalu terjadi debat kusir mengenai “apakah si supir masih di dalam mobil atau sudah di luar mobil”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H